Cover dalam artikel ini, adalah Tim Pelatih SSB Sukmajaya Periode Kepengurusan VII, yang ditetapkan dengan SK (Surat Keputusan). Sekaligus mendeskripsikan dalam proses menuju usia SSB Sukmajaya 26 tahun di 10 Juni 2024.Dalam gambar cover, lebih ditonjolkan informasi berstandar kompetensi pendidik, karena syarat pelatih di SSB Sukmajaya sama dengan di sekolah formal.
Sementara bagian penjelasan di kolom foto pelatih tentang praktisi sepak bola, maksudnya, pelatih telah melalui jalur pendidikan di SSB atau sebagai pemain sepak bola, minimal sampai tingkat kota/kabupaten/provinsi atau sudah memiliki lisensi pelatih sepak bola.
Itu adalah sebagai tanggung jawab moral dan ilmiah, sebab SSB Sukmajaya adalah 1 dari 16 SSB Pelopor di Indonesia. Dan menggunakan huruf S, sekolah di depan SB, sepak bola. Jadi, tidak boleh gaya-gayaan. Meski menyoal wadah SSB hingga kompetisinya belum pernah di buat regulasi, standarisasi, dan akreditasi oleh PSSI.
Mengetuk lagi
Melalui artikel ini, saya ingin mengetuk kembali hati "PSSI" agar tidak pura-pura bisu, buta, dan tuli sebab terus menelantarkan pondasi sepak bola akar rumput baik kepada wadahnya mau pun kompetisinya, sebab belum pernah membuat regulasi, standarisasi, dan akreditasi tentang bentuk, fungsi, dan kedudukan wadahnya di program sepak bola nasional.
Tapi malah terus sibuk menaturalisasi pemain demi mencari prestasi melalui jalan pintas, potong kompas, instan.
Apa salah menaturalisasi pemain? Jawabnya tidak!. Regulasi FIFA membolehkan, negara lain juga melakukan. Saat PSSI memanfaatkan, mengapa tidak? Tetapi negara lain tidak bisu, tuli, dan buta atas wadah dan kompetisi pondasi sepak bola mereka.
Wadah sepak bola akar rumput bertanggung jawab kepada sumber daya manusia (SDM) pemain usia muda dan dini. Artinya, para pegiat di wadah ini, pembinanya, pemimpinnya, pelatihnya, dan lainnya, juga harus menyesuaikan dengan pola pendidikan formal.
Pemimpin, pembina, pelatih yang sama dengan guru, wajib berstandar kompetensi pendidik, selain juga berbekal kompetensi pelatih, memiliki lisensi.
Tetapi coba bandingkan antara lisensi pelatih dengan ijazah pendidikan. Setinggi-tingginya lisensi pelatih, didapat oleh seseorang hanya melalui kursus yang bahkan lisensi A misalnya, hanya hitungan bulan. Tetapi ijazah pendidikan, minimal 3 sampai 4 tahun itu untuk D3 dan S1.
Di dunia pendidikan formal, sekarang syarat menjadi guru di Pendidikan Anak Usia Dini, harus setara dengan S1. Tetapi lihat, pendidikan formal di Indonesia saja masih terus gagal, di antaranya syarat ijazah yang setara S1, hanya sebuah syarat. Banyak sekolah formal yang diisi oleh guru, ijazahnya sudah S1, tetapi belum memiliki kualifikasi dalam kompetensi kepribadian, pedagogi, sosial, profesional, plus IT.
Lihat dalam penilain PISA, dalam hal literasi, matematika, sains, Indonesia terus tercecer, terbelakang.
Bagaimana dengan pelatih/guru sepak bola di wadah sepak bola akar rumput, yang lebih banyak tidak memiliki ijazah D3/S1/S2? Sementara lisensi pelatih hanya didapat dari jalan kursus yang sesuai level lisensi, paling lama kursusnya hanya 1 bulan?
Di mana pelatih sepak bola yang tidak berijazah D3/S1/S2 mendapatkan pendidikan kompetensi guru untuk bekal melatih?
Saya catat, sejak nama SSB digaungkan tahun 1999, hingga kini persoalan standar pelatih ini tidak pernah diurus. Malah, dalam setiap event atau kompetisi, penyelenggara membuat regulasi, pelatihnya minimal berlisensi D/C/B/A.
Ingat, ini saya bicara Indonesia, bukan negara lain yang pendidikan formalnya sudah berhasil, dan sepak bolanya juga signifikan terus berkembang dan maju.
+62 ini, pendidikan formal masih gagal, di sepak bola akar rumput khususnya, pelatih tidak berstandar pendidik pun terus dibiarkan menjadi pelatih di SSB. Mengapa? Karena PSSI juga tidak pernah membuat regulasi, standarisasi, dan akreditasi. Jangankan sampai ke detail SDM pelatihnya, wadahnya pun tidak diurus.
Maka jangan heran, SSB kepala sekolahnya lulusan SMA/yang sederajat. Bagaimana pelatihnya? Ini bagimana?
Fakta pemain timnas
Â
Bagaimana kecerdasan intelegensi/intelektual/otak (IQ), kecerdasan personality/mental/hati (EQ), kecerdasan teknik, dan kecerdasan speed (fisik) pemain sepak bola di Indonesia? Jawabnya dapat dilihat dari para pemain yang berhasil dipanggil pelatih timnas Indonesia, di semua level kelompok umur.
Sejak timnas Indonesia, terutama senior diampu oleh Shin Tae-yong (STy) sudah membuka mata, telinga, dan hati kita semua, dengan berbicara sesuai fakta bahwa pemain timnas Indonesia masih lemah (baca: gagal) dalam kecerdasan otak, hati, teknik, dan fisik.
Istilah kecerdasan tersebut agar mudah diingat menjadi akronim TIPS (teknik, intelegensi, personality, speed).
Terkait pemain timnas, apa yang  akhirnya diminta STy? Naturalisasi pemain demi menghadapi Piala Asia dan Kualifikasi Piala Dunia.
Mengapa ada publik yang kecewa, timnas yang Jumat (5/1/2024) akan melakoni laga uji coba kedua vs Libya, banyak menggunakan jasa pemain naturalisasi?
Malah keberadaan pemain lokal di timnas pun terus menjadi cemoohan netizen. Karena publik menilai ada pemain yang lebih layak dipanggil karena moncer di kompetisi Liga 1, tapi diabaikan STy. STy justru memilih pemain lain yang dicurigai sebagai titipan.
Tapi siapa STy? Tentu tidak usah saya ulas. Yang pasti, pemain yang dipilih STy, minimal memiliki standar minimal TIPS pemain nasional. Itu pasti. Karena STy sudah tahu kedalaman TIPS pemain Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H