Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Manusia "Dekat" dengan Sastra

26 Desember 2023   09:28 Diperbarui: 26 Desember 2023   09:42 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Dalam berbagai literasi, orang-orang yang cerdas intelektual dan emosional, biasanya orang-orang yang "dekat" dengan sastra dan agama.

Maka, sangat paham tentang paket sebab/masalah, konflik, dan akibat sesuai ilmu sastra dan agama.

Sebaliknya, orang-orang yang licik, tidak tuntas atau malah sangat tuntas dalam memahami sastra, kuat dalam beragama, dan tahu bagaimana caranya bertobat. Karenanya tidak pernah takut dosa, meski berbuat licik.

Sastra bagi orang-orang licik adalah bagaimana membuat sebab/masalah yang menimbulkan konflik, tetapi sudah diperhitungkan akibat buruk dan negatifnya untuk siapa? Akibat baik dan positifnya tentu untuk menguntungkan dirinya/pihaknya/kelompoknya/golongannya/dinastinya/oligarkinya, dll.

Dengan demikian, orang-orang yang dekat dengan sastra selalu membaca, melihat, menonton, menulis, berbicara, dll melalui berbagai media dan sarana, diaplikasikan dalam perbuatannya di kehidupan nyata, ada yang semakin cerdas intelektual dan emosional, karena agamanya juga kuat. Perbuatannya untuk kemaslahatan diri dan umat.

Namun, dari berbagai pandangan, yang agamanya tidak kuat, maka kecerdasan intelektualnya tidak berkembang, kecerdasan emosionalnya bebal, kelicikan menjadi ujung tombak tingkah lakunya. Perbuatan mudarat menjadi pilihan untuk dirinya.

Sastra

Selama ini, di berbagai Kurikulum Pendidikan Indonesia, pelajaran sastra lazim disebut sebagai pelajaran tempelan. Lebih dari itu, banyak pengajar (guru/dosen) bahkan tidak menguasai materi tentang sastra. Padahal, hal terkait sastra (sebab/masalah, konflik, akibat), ada di semua bidang pelajaran/mata kuliah.

Masalahnya, jangankan guru/dosen bukan pengajar bahasa dan sastra, guru/dosen pengajar bahasa dan sastra saja masih terkendala dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Ini benang kusut yang belum pernah dapat diurai.

Padahal, seharusnya, semua guru/dosen itu=pengajar bahasa dan sastra. Pondasi pembelajaran semua bidang adalah bahasa (keterampilan mendengar, berbicara, membaca, menulis, + sastra), ini ada dan terjadi dalam semua bidang. Apakah selama ini disadari dan terus terjadi di Indonesia? Inilah bagian konfik yang tidak pernah tuntas digarap.

Akibatnya, tugas guru/dosen membuat manusia Indonesia menjadi terampil berbahasa dan sastra, terampil literasi, terus gagal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun