bola Indonesia.
Sampai PSSI berusia 93 tahun, Â ternyata tetap konsisten dengan kelucuannya dalam mengampu sepak(Supartono JW.23122023)
Lucu itu, menggelikan hati, menimbulkan tertawa, jenaka. Mengapa saya menyebut sepak bola nasional dalam situasi lucu-lucuan, sebab apa yang dilakukan PSSI di beberapa pos penting tidak sesuai harapan.
Sudah begitu, diberikan masukan, kritik, dan saran pun tetap pura-pura buta, tuli, dan tetap bisu.
Karenanya ungkapan yang dapat menghibur diri adalah tertawa dan geli hati saja. Anggap ini sebagai lucu-lucuan, meski faktanya tidak lucu.
Sepakat
Seusai saya menulis artikel tentang "Lucu-Lucuan Nama Wadah Sepak Bola Akar Rumput di +62", di media ini (15/12/2023), baik secara tatap muka mau pun via media sosial, tidak ada satu individu mau pun kelompok penggiat sepak bola akar rumput, pegiat sepak bola nasional, dan publik pecinta sepak bola nasional yang menyangkal.
Bagaimana tidak lucu? Di usia 93 tahun PSSI, kemudian kini di saat Ketua Umum PSSI dijabat oleh sosok yang awalnya digadang menjadi penyelamat sepak bola Indonesia, hingga sejauh ini, memimpin PSSI, tidak nampak serius sama sekali mengelola sepak bola akar rumput yang faktanya sudah menjadi penyumbang pemain nasional.
Bagaimana tidak tambah menjadi benang kusut, nama-nama wadah sepak bola akar rumput Indonesia, hanya sekadar gaya-gayaan. Tidak pernah ada regulasi yang mengatur. Tidak ada standarisasinya, tidak ada akreditasinya, tidak ada kompetisi resminya yang sesuai regulasi, standar, dan akreditasi.
Bahkan, atas artikel yang saya tulis itu, ada sosok pegiat sepak bola nasional yang kemudian menambahkan fakta bahwa bukan hanya nama wadah sepak bola akar rumput yang lucu-lucuan, tetapi di semua lini sepak bola nasional.
Terkait sepak bola nasional yang lucu-lucuan ini, dapat diidentifikasi, di antaranya:
Sejak Erick Thohir menjadi Ketua Umum PSSI, sampai detik ini, program untuk Grassroot dan Youth Development belum pernah ada.
Turnamen bernama Piala Soeratin dan Elite Pro Academy (EPA) yang diakui sebagai program PSSI, bukan kompetisi.
Bahkan EPA yang di dalamnya ada kata Elite, terbukti sama sekali tidak elite dan tidak profesional. Bisa diidentifikasi mengapa sama sekali tidak elite dan tidak profesional dari sudut regulasi, standarisasi, dan akreditasinya.
Para pegiat sepak bola yang terlibat dalam turnamen Soeratin mau pun EPA, bisa diminta bersaksi atas kondisi lucu-lucuannya. Apa kondisi ini Ketua PSSI tahu?
Apalagi ada juga yang menyebut sepakbola Indonesia saat ini sedang gemoi-gemoinya. Bukan hanya mengabaikan grassroot, melupakan youth development, kompetisi liga 1 dan 2 pun hanya pajangan. Lebih memprihatinkan, nasib timnas malah menggantungkan pada pemain yang di luar negeri atau naturalisasi. Programnya TC dan TC.
Harus diakui ada prestasi 3 kelompok timnas lolos Piala Asia. Piala Dunia U-17. Tapi apa haruskah bangga dengan prestasi yang diraih dengan cara merekrut pemain instan? Bukan dari hasil pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan kompetisi yang terprogram. Berdasarkan regulasi, standarisasi, dan akreditasi dari PSSI dan stakeholder terkait?
Pada akhirnya saya pun mendapati kata sepakat dari berbagai pihak. "Tidak ada yang dapat mengalahkan kelucuan sepak bola Indonesia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H