Sejak Erick Thohir menjadi Ketua Umum PSSI, sampai detik ini, program untuk Grassroot dan Youth Development belum pernah ada.
Turnamen bernama Piala Soeratin dan Elite Pro Academy (EPA) yang diakui sebagai program PSSI, bukan kompetisi.
Bahkan EPA yang di dalamnya ada kata Elite, terbukti sama sekali tidak elite dan tidak profesional. Bisa diidentifikasi mengapa sama sekali tidak elite dan tidak profesional dari sudut regulasi, standarisasi, dan akreditasinya.
Para pegiat sepak bola yang terlibat dalam turnamen Soeratin mau pun EPA, bisa diminta bersaksi atas kondisi lucu-lucuannya. Apa kondisi ini Ketua PSSI tahu?
Apalagi ada juga yang menyebut sepakbola Indonesia saat ini sedang gemoi-gemoinya. Bukan hanya mengabaikan grassroot, melupakan youth development, kompetisi liga 1 dan 2 pun hanya pajangan. Lebih memprihatinkan, nasib timnas malah menggantungkan pada pemain yang di luar negeri atau naturalisasi. Programnya TC dan TC.
Harus diakui ada prestasi 3 kelompok timnas lolos Piala Asia. Piala Dunia U-17. Tapi apa haruskah bangga dengan prestasi yang diraih dengan cara merekrut pemain instan? Bukan dari hasil pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan kompetisi yang terprogram. Berdasarkan regulasi, standarisasi, dan akreditasi dari PSSI dan stakeholder terkait?
Pada akhirnya saya pun mendapati kata sepakat dari berbagai pihak. "Tidak ada yang dapat mengalahkan kelucuan sepak bola Indonesia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H