Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendidik, Melatih, dan Membina Diri agar Tidak Egois

14 November 2023   15:23 Diperbarui: 14 November 2023   15:25 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Memerankan tokoh jahat, salah satunya berkarakter egois, bagi sebagian aktor panggung/sinetron/film, bukan perkara sulit.Pasalnya, dalam kehidupan nyata, karakter egois masih lekat dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Akibat dari pendidikan yang masih belum sesuai harapan. Kemiskinan dan penderitaan masih menjadi sahabat karib rakyat. Dalam keseharian, kita jadi sangat mudah menemukan tindakan  egois.

Bahkan, orang-orang yang dekat dengan kita, sudah kita anggap seperti saudara dan keluarga, malah sangat ringan menunjukkan perbuatan egois yang tidak pernah kita duga. Dilakukan oleh orang yang kita kenal dengan baik.

Sementara di level pemimpin, fakta terkini, di +62 juga masih berlangsung sandiwara dengan tema egois yang pemerannya justru pemimpin bangsa ini. Rakyat pun tidak menyangka, mengapa sosok yang seharusnya menjadi panutan, malah berbuat egois demi kepentingan dan keuntungannya sendiri.

Lelah, capai, menyakitkan

Lelah tidak? Capai tidak? Menyakitkan tidak, sih? Dekat dengan orang yang egois? Apalagi selama ini, menjalin hubungan dengan orang, ternyata egoisnya, tidak dapat disembuhkan?

Jangan-jangan, saya ternyata tergolong orang yang masuk kualifikasi egois. Jadi, yakin, orang yang dekat dengan saya. Orang yang menjalin "hubungan" dengan saya, pasti lelah menghadapi saya. Capai dan menyakitkan.

Jangan-jangan, saya memang benar, orang yang selalu mementingkan diri sendiri. Tanpa memikirkan dan memperhatikan dampak dan akibatnya kepada orang lain.

Bisa jadi, sikap dan perbuatan saya membuat orang lain lelah. Sakit hati. Sebab, ternyata saya hanya peduli pada kepentingan diri saya.

Bila begitu, apakah saya orang yang salah bergaul, adaptasi dalam lingkungan dan budaya? Atau saya memiliki masalah dalam genetika atau neurobiologi? Atau saya adalah orang yang memiliki gangguan kepribadian?

Dikutip dari laman Psych Central, keegoisan dapat didefinisikan sebagai sifat yang membuat orang sering bertindak demi kepentingan mereka sendiri. Hal itu cenderung tanpa memperhatikan bagaimana tindakan mereka dapat berdampak pada orang lain.

Selanjutnya, dalam kamus American Psychological Association, "keegoisan" didefinisikan sebagai kecenderungan untuk bertindak berlebihan atau semata-mata dengan cara yang menguntungkan diri sendiri, orang lain dirugikan.

Karenanya, coba bertanya pada diri sendiri. Apakah saya memperhatikan bagaimana perilaku saya berdampak pada orang lain? Apakah saya konsisten bertindak untuk kepentingan diri sendiri? Apakah saya tidak memiliki empati terhadap penderitaan orang lain?

Lalu, apakah saya tidak ada penyesalan ketika menyakiti orang lain? Apakah saya menggunakan taktik manipulasi untuk mendapatkan apa yang saya inginkan? Apakah saya selalu meminta bantuan,  tetapi tidak pernah membalasnya?

Apakah saya orang yang datang dengan membawa kebaikan, tetapi dibaliknya ada tujuan mendapatkan imbalan yang berlipat dari kebaikan yang palsu?

Apakah saya  hanya memanfaatkan orang lain, pihak lain untuk mendapatkan apa yang saya inginkan?

Apakah saya merasa berhak untuk selalu mendapatkan apa yang diinginkan, meskipun itu berarti orang lain akan terdesak, dirugikan?

Bila jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah, ya. Maka, betul. Saya adalah orang yang egois. Orang yang membuat orang lain lelah, capai, dan sakit hati atas perbuatan egois saya.

Tapi mengapa, banyak orang yang egois, kemudian dapat berubah menjadi orang yang tidak egois?

Di antara mereka yang egois, ternyata mau meluangkan waktu untuk mendidik, melatih, dan membina dirinya agar menjadi orang yang memiliki empati dan menjadi orang yang bijak. Tidak egois lagi karena dapat mengevaluasi perilaku diri sendiri.

Belajar memperhatikan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka katakan tentang sikap egois kita. Lalu, meningkatkan empati yang memungkinkan kita  mempertimbangkan hal-hal dari sudut pandang orang lain dan fokus pada hal-hal di luar kebutuhan diri sendiri.

Selanjutnya, refleksikan diri atas kesalahan berpikir yang memengaruhi cara menafsirkan dan berinteraksi dengan dunia yang dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk, dapat berkontribusi pada perilaku egois.

Pada akhirnya, mendidik, melatih, dan membina diri sendiri untuk dapat berhenti dari sikap dan perbuatan egois akan lebih efektif dan mudah berhasil, sebab datang dari pikiran dan hati sendiri. Sadar sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun