Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola

Siapa yang Wajib Bercermin dari Kejujuran STy, Menyoal TIPS Pemain Timnas Lemah?

20 Oktober 2023   21:28 Diperbarui: 20 Oktober 2023   21:35 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Kelemahan pemain timnas sepak bola Indonesia yang ditangani Shin Tae-yong (STy) sudah teridentifikasi, lengkap lemah teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS). Akankah PSSI tetap akan pura-pura buta dan tuli dengan masalah ini. Terus menebar mimpi sepak bola nasional terbang tinggi. Tetapi tidak peduli pada pondasi?

(Supartono JW.20102023)

Haruskah bangga dengan prestasi yang didapat karena melalui jalur potong kompas, karbitan, tidak dari upaya sendiri sesuai jalan yang benar dan baik?

Jelang Piala Dunia U-17 yang tinggal menghitung hari, kejujuran STy, atas nilai rapor TIPS pemain Timnas yang lemah, harus dijadikan pengingat untuk PSSI dan publik sepak bola nasional. Agar Timnas U-17 dapat tampil di hadapan bangsa sendiri, bangsa Asia Tenggara, Asia, dan dunia dengan nilai rapor TIPS yang tidak rendah, tidak memalukan. Aamiin.

Cermin pedidikan kita

Mengapa dunia pendidikan Indonesia terus terpuruk, tercecer, dan tertinggal dari bangsa lain? Bahkan sekadar di lingkungan Asia Tenggara saja, malah hanya sejajar dengan Negara yang melepaskan diri dari +62?

Padahal, di Indonesia ada Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Ada anggaran pendidikan yang besar dari APBN. Ada Kurikulum Pendidikannya. Ada Sumber Daya Manusia (SDM). Ada sekolah dan kampus formal, ada guru dan dosen. Ada sarana dan prasarana yang minimal sudah sesuai kualifikasi. Ada infrastruktur penunjangnya, dan lainnya. Semua yang terstruktur dan terprogram ada jatah anggarannya. Kurang apa coba? 

Tapi sampai 78 tahun usai Republik ini, ternyata pendidikan dan masalah pendidikan di Indonesia terus menjadi benang kusut. Seperti bau kentut di ruang berAC, tidak dibukakan akses bau kentut itu ke luar dari ruangan. Atau memang ada yang sengaja membuat pendidikan tetap terpuruk, agar rakyat langgeng menderita, mudah dibodohi, ditunggangi, dan terus sekadar menjadi alat dan kendaraan kepentingan?

Benang kusut pendidikan di Indonesia, dari berbagai data yang ada, mengerucut pada persoalan lemahnya kompetensi guru/dosen. Ada upaya sertifikasi guru/dosen. Namun, upaya ini pun tidak menggaransi mengentaskan kelemahan kompetensi guru/dosen. 

Malah ada gaya-gayaan dengan sebutan guru penggerak buah karya dari Kurikulum ala Mas Nadiem. Tapi, apa yang terjadi dengan guru penggerak? Benarkah keberadaannya membantu meningkatkan pendidikan? Ada Modul Ajar, sekadar nama lain dari Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP), apakah signifikan mengentaskan pendidikan yang terpuruk?

Banyak sebutan guru/dosen hebat. Apakah yang disebut hebat benar-benar hebat? Atau sekadar hanya merasa hebat? Lihatlah output pendidikan kita. Benarkah para peserta didik menjadi manusia yang berkarakter sesuai nawa cita? Benarkah para peserta didik benar-benar tergarap, terdidik, dan terbina di bagian intelegensi dan personality oleh para guru dan dosen? Sejauh mana peserta didik berhasil terdidik dan menjadi manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur, rendah hati?

Apa komentar obyektif dari para administrator sekolah/TU, guru, dosen, masyarakat dengan hadirnya Kurikulum Merdeka? Bila kita tidak buta dan tuli, tentu dapat jujur seperti STy, yang menyatakan para pemain Timnas Indonesia lemah TIPS.

Cermin sepak bola kita

Berkaca dari dunia pendidikan yang jelas-jelas ada anggarannya, ada kementeriannya, ada kurikulumnya, sekolah, kampus, guru, dosen, dan semuanya yang mendukung pendidikan saja, pendidikan Indonesia masih bermasalah. Masih tercecer. Satu di antara sumber biang keladinya adalah keberadaan guru/dosen yang menjadi ujung tombak pendidikan, masih belum dapat diandalkan. Masih terlalu banyak guru dan dosen yang sekadar memenuhi prasyarat sudah sarjana. Tapi jauh dari kompetensi yang diharapkan.

Bagaimana dengan sepak bola Indonesia yang tidak ada anggaran pendidikannya? PSSI tidak pernah menyentuh sepak bola akar rumput dengan benar? Tidak ada kurikulum yang benar? Begitu banyak pelatih dan pembina yang tidak memenuhi kualifikasi, tapi tetap tidak dipedulikan? 

Pondasi Timnas adalah sepak bola akar rumput. Tetapi pendidikan, pelatihan, dan pembinaan di akar rumput malah dibiarkan berjalan tanpa arah. PSSI dan klub justru tinggal memanfaatkan dan memetik hasil. Tidak malu meski tidak membiayai, tidak menanam, tidak merawat.

Ketua PSSI.yang sekarang malah maunya  sepak bola nasional mendunia. Uji tanding dengan tim kelas dunia. Menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17. Ancang-ancang mau menjadi tuan rumah Piala Dunia senior.

Tetapi tidak melihat fakta bagaimana kondisi Timnas dan asal muasal pemainnya. Maunya potong kompas, naturalisasi pemain. Mencari pemain diaspora yang ada di manca negara. Lucu.

Kasihan STy, harus mendidik ulang para pemain Timnas mulai dari bawah lagi. Sebab, pada akhirnya STy sadar, para pemain yang dihadapi adalah pemain-pemain yang lemah TIPS. 

Mungkin PSSI bisa membantu STy, mendata para pemain Timnas, yang menempuh pendidikan formalnya benar. Mendapat nilai rapor dan ijazah karena benar-benar dari hasil pendidikan dan pembelajaran yang diikuti di sekolah/kampus. Bukan sekadar rapor dan ijazah formal yang angka-angka nilainya sekadar formalitas tidak berdasarkan kecerdasan TIPS yang seharusnya.

Apakah kejujuran STy, tidak akan ada itikad baik dari PSSI untuk rendah hati. Lalu, memgambil sikap memperbaiki? Sampai kapan PSSI akan membiarkan sepak bola akar rumput ditangani, dikelola, diampu, dididik, dibina, oleh SDM yang bukan ahlinya, bukan bidangnya, tidak memiliki kualifikasi yang sesuai standar pendidikan pada umumnya, dan lainnya?

Apakah sampai STy usai masa kontraknya? Atau sampai datang pelatih asing lainnya? Atau atau lainnya?

Siapa yang seharusnya bercermin? Melihat muka atau diri sendiri, mengambil pelajaran (contoh, teladan), memeriksa dengan teliti; meneliti. Untuk kemudian memperbaiki diri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun