Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepak Bola dan Teater Membentuk Manusia Berbudi dan Rendah Hati

25 September 2023   17:29 Diperbarui: 25 September 2023   17:34 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Meski saya hanya rakyat jelata. Tidak punya kedudukan dan jabatan. Bukan orang kaya harta, bukan  orang yang kelebihan uang. Hanya dengan sedikit ilmu, sedikit pengalaman, sedikit tahu tentang sepak bola dan teater, sedikit tahu tentang kehidupan, saya selalu berupaya membantu  diri sendiri dan masyarakat agar menemukan diri menjadi manusia yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, dan rendah hati, melalui wadah sepak bola dan teater yang saya ikuti dan saya buat.

Ciri berbudi pekerti luhur dan rendah hati itu, sopan, santun, beretika,  suka menolong, tahu kesulitan orang lain, tahu diri, punya simpati-empati, selalu peduli, tahu berterima kasih, tahu cara meminta maaf, tahu cara meminta tolong, tahu membalas budi, tidak egois, tidak individualis, tidak mementingkan diri sendiri, pola berpikir atau mindsetnya tidak parsial, tetapi komprehensif. Kreatif, imajinatif, inovatif. Selalu bersyukur dan menjadi orang yang pandai bersyukur.

(Supartono JW.25092023)

Pengamat pendidikan nasional, sastra, dan sosial. Pengamat sepak bola nasional

Selain program Latihan Dasar Kepemimpinan/Keorganisasian Siswa/ Masiswa/ Karyawan/Pegawai (LDKS/ LDKM/LDKK/ LDKP) yang dilakukan secara formal, akademis, serta tersturkutur dan berkesinambungan, banyak program kegiatan nonformal kekeluargaan, kemasyarakatan, kesenian, olah raga dan lainnya yang dapat membantu sesorang terbentuk karakternya menjadi berbudi pekerti luhur dan rendah hati.

Bawaan, keturunan, dan hasil pendidikan-pembinaan

Dari berbagai literasi, dapat disimpulkan bahwa manusia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati, sejatinya ada yang bawaan dari sejak lahir, ada bakat dari keturunan orangtua, nenek moyangnya.  Ada pula yang bukan bawaan atau bukan bakat sejak lahir karena  orangtua dan nenek moyangnya bukan orang yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati.

Manusia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati pun dapat diidentifikasi dengan ciri-ciri: sopan, santun, beretika,  suka menolong, tahu kesulitan orang lain, tahu diri, punya simpati-empati, selalu peduli, tahu berterima kasih, tahu cara meminta maaf, tahu cara meminta tolong, tahu membalas budi, tidak egois, tidak individualis, tidak mementingkan diri sendiri, pola berpikir atau mindsetnya tidak parsial, tetapi komprehensif. Selalu bersyukur dan menjadi orang yang pandai bersyukur.

Parsial adalah sebagian saja, yang menguntungkan dirinya saja. Tidak komprehensif, yaitu pola pikir global, pola pikir terbuka dan non-eksklusif (tertutup), yaitu  memiliki sikap menghargai pemikiran orang lain dan kemampuan beradaptasi dengan keragaman. Berpikir yang maslahat untuk kelompok, kekeluargaan, tim, masyarakat, hingga untuk kepentingan bangsa dan negara.

Namun, bicara berbudi pekerti luhur dan rendah hati, saat dimulai  melalui proses kehidupan yang benar. Jiwa (pikiran, hati) dan raganya dirawat, didik, dibina dengan benar dan baik oleh orangtua, sekolah, kampus, instansi, institusi, hingga kegiatan  nonformal, kekeluargaan, dan kemasyarakatan. Lalu, hasilnya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan sesorang tinggal, sekolah, kuliah, bekerja, hingga dalam beradaptasi di tengah masyarakat hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sayang, dalam praktik dan faktanya, dalam kehidupan nyata, banyak manusia yang tetap gagal berkarakter berbudi pekerti luhur dan rendah hati, kendati sudah melalui proses jiwa dan raganya dirawat, dididik, dibina dengan benar dan baik oleh orangtua, sekolah, kampus, instansi, institusi.

Manusia yang masih gagal menjadi berbudi pekerti luhur dan gagal menjadi rendah hati pun banyak yang teridentifikasi berasal dari dua model golongan orangtua dan nenek moyangnya. Meski orangtua dan nenek moyangnya berbudi pekerti luhur dan rendah hati, namun hal berbudi pekerti luhur dan rendah hati, tidak menurun kepada anak cucunya, meski Jiwa (pikiran, hati) dan raganya dirawat, didik, dibina dengan benar dan baik oleh orangtua, sekolah, kampus, instansi, institusi, hingga kegiatan  nonformal, kekeluargaan, dan kemasyarakatan.

Sepak bola dan teater

Di luar jalur pendidikan akademis-formal, dalam kegiatan nonformal seperti sepak bola dan teater, keduanya ternyata dapat menjadi wadah yang sangat membantu menempa seseorang menjadi memiliki karakter dan rendah hati.

Dengan catatan, wadah sepak bola dan teaternya pun wajib diampu oleh orang-orang yang kompeten dan ahli di bidang sepak bola dan teater, serta memiliki pendidikan formal minimal sudah mengantongi ijazah sarjana. Pasalnya, banyak wadah sepak bola, akar rumput dan senior, serta wadah teater yang tetap gagal dalam merawat, mendidik, dan membina anggotanya menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan renda hati. Tetap tidak cerdas intelektual, sosial, emosional, analisis, kreatif, imajinatif, inovatif, dan iman (Iseaki). Pun tidak cerdas teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS).

Di luar dunia pendidikan, dunia sepak bola dan teater, adalah dunia yang sudah mendarah daging, sudah menjadi aliran darah dan nafas dalam kehidupan saya. Keduanya sama-sama sudah lebih dari seperempat abad saya tekuni. Dari keduanya, saya mendapat ilmu dan praktik bagaimana  menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati.

Mustahil dalam laga sebuah tim sepak bola akan dapat menunjukkan permainan yang benar dan baik. Menguasai permainan dan menang dalam gol, bila para pemain tidak mengikuti instruksi/arahan pelatih sesuai strategi saat bertanding. Apalagi bila ada pemain yang egosi dan individualis, pola pikirnya parsial, hanya mementingkan diri sendiri.

Bahkan, sebelum bertanding, mustahil sebuah tim akan dapat berlaga dengan benar dan baik, bila pemain tidak disiplin hadir dalam latihan. Tidak disiplin hadir dalam pertandingan, padahal nama pemain sudah  dipilih masuk dalam tim. Namun, tiba-tiba hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, tanpa memikirkan tim, mudah sekali membuat alasan demi tidak hadir dalam laga. Padahal laga pertandingannya bukan  dalam kategori uji tanding, tetapi dalam bentuk kompetisi.

Setali tiga uang, dalam dunia teater, semua anggota/yang terlibat dalam produksi, apalagi yang bertugas menjadi pemain dan duduk di bagian artistik, bila sudah masuk dalam bagian produksi, semua wajib menyatu dalam setiap langkah program, mulai dari latihan, hingga gladi bersih, hingga pementasan.

Karenanya, dengan mengukur diri sendiri, lebih dari seperempat abad saya menggeluti dunia sepak bola dan teater atau menjelang setengah abad saya menggeluti dunia pendidikan dan sosial, saya selalu berupaya bercermin diri, agar selalu dapat menjadi orang yang berkarakter, berbudi pekerti luhur dan rendah hati sesuai ciri-cirinya.

Meski saya hanya rakyat jelata. Tidak punya kedudukan dan jabatan. Bukan orang kaya harta, bukan  orang yang kelebihan uang. Hanya dengan sedikit ilmu, sedikit pengalaman, sedikit tahu tentang sepak bola dan teater, sedikit tahu tentang kehidupan, saya selalu berupaya membantu  diri sendiri dan masyarakat agar menemukan diri menjadi manusia yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, dan rendah hati, melalui wadah sepak bola dan teater yang saya ikuti dan saya buat.

Ciri berbudi pekerti luhur dan rendah hati itu, sopan, santun, beretika,  suka menolong, tahu kesulitan orang lain, tahu diri, punya simpati-empati, selalu peduli, tahu berterima kasih, tahu cara meminta maaf, tahu cara meminta tolong, tahu membalas budi, tidak egois, tidak individualis, tidak mementingkan diri sendiri, pola berpikir atau mindsetnya tidak parsial, tetapi komprehensif. Kreatif, imajinatif, inovatif. Selalu bersyukur dan menjadi orang yang pandai bersyukur.

Sebab, saya juga tahu, pendidikan formal di Indonesia juga masih gagal dalam membentuk manusia Indonesia yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, dan rendah hati. Masih tercecer , bukan hanya di tingkat Dunia atau Asia, tetapi bahkan terus tercecer di tingkat Asia Tenggara, karena persoalannya dasarnya justru seolah dibiarkan menjadi benang kusut, meski sejatinya mudah diurai.

Di dunia pendidikan, sepak bola, sastra (teater) yang yang saya tekuni selama ini, mudah bagi saya menemukan manusia-manusia egois dan individualis. Mudah menemukan manusia-manusia yang tidak tahu diuntung. Tidak tahu berterima kasih. Tidak tahu membalas budi. Tidak punya simpati-empati. Tidak santun, tidak etis. Tidak peduli. Tidak mementingkan tim. Manusia-manusia yang tidak berbudi pekerti luhur, tidak rendah hati, sebab tidak pernah bersyukur. Tidak pernah pandai bersyukur. Belum pernah selesai dengan dirinya.

Semoga, saya selalu menjadi gelas kosong, selalu belajar, selalu membaca, selalu mendengar, selalu merefleksi diri, selalu bercermin, agar selalu dapat menjadi orang yang bersyukur, pandai bersyukur, sehingga saya termasuk orang yang berbudi pekerti luhur, rendah hati, karena tidak mementingkan diri sendiri, tidak egois, tidak individualis. Berpikir dan berbuat untuk kemaslahatan masyarakat. Aamiin. Aamiin. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun