Mengapa rakyat banyak yang susah menjadi pendengar yang baik? Sepertinya, di negeri ini, para kaum elite yang duduk berkuasa, meski dapat kursinya dari suara rakyat, ternyata banyak yang karakternya masih belum menjadi pendengar yang benar dan baik.
Suara rakyat, sering hanya lewat telinga kanan, lalu bablas hilang melalui telinga kiri. Tidak ada yang tersisa di pikiran dan hati. Pasalnya, suara yang didengar adalah suaranya sendiri atau suara dinastinya, golongannya, partainya, oligarkinya, hingga suara yang dipertuankan.
Sulit, rakyat jelata melihat sosok elite dan pemimpin negeri ini yang dapat dijadikan panutan, diteladani, khusus dalam hal menjadi pendengar yang baik.
Ibaratnya, mereka selalu memposisikan diri sebagai gelas yang sudah penuh. Faktanya, kini di berbagai situasi, di media massa, di medsos, mereka justru sedang menyuarakan kepentingan mereka. Pura-pura buta dan tuli atas situasi dan kondisi rakyat yang susah sampai pada titik merasakan kesejahteraan dan keadilan, di negeri yang sudah merdeka. Tetapi tetap merasakan dalam cengkeraman penjajah.Â
Bumbunya para pencari nafkah yang tidak pernah malu makan dari hasil memperkeruh suasana dan menebar ombak negatif demi mengagungkan junjungannya, sekaligus menjatuhkan dan menciderai lawannya. Sangat sulit untuk menjadi pendengar. Terus menulis dan berbicara sesuai pesanan, meski sangat dekat menimbulkan disintegrasi bangsa.
Padahal, orang-orang yang bijak, selalu menyampaikan  bahwa jika mau jadi orang hebat kita harus seperti gelas kosong.Â
Ada pula yang menganalogikan seperti kita mempunyai jus yang penuh dalam 1 gelas. Gelas tersebut tidak kita bisa isi lagi. Untuk itu gelas tersebut harus kita kosongkan terlebih dahulu. Setelah kosong, gelas tersebut baru bisa diisi jus lagi.Â
Bahkan berikutnya, tidak hanya dapat diisi jus yang sama, namun bisa diisi dengan jus rasa yang lain, seperti air putih, sirup dan susu.Â
Sehingga, gelas kosong itu maksudnya agar selalu bisa diisi. Agar terus belajar, membaca, mendengar, dan lainnya. Bila kita seperti gelas kosong, maka kita bisa selalu diisi, pikirannya, hatinya. Agar menjadi manusia yang kaya pikiran dan kaya hati. Bukan manusia yang buta, tuli, tidak cerdas, dan tidak punya hati.
Sebab, gelasnya sudah penuh. Tidak pernah dikosongkan (baca: rendah hati). Hal yang masuk pun tidak muat alias selalu tumpah.
Rendah hati, selalu belajar