Terkadang, sering kali, orang-orang yang berlindung atau ada di ketiak yang sedang memimpin atau berkuasa, lebih punya seribu gaya dari junjungannya, meski kompetensinya sama-sama belum ada di tempatnya.
(Supartono JW.21072023)
Seiring hasil pendidikan yang masih tertinggal dari negara lain, masalah kompetensi di negeri ini, yang seharusnya menjadi barang mahal. Seolah menjadi barang murah. Pasalnya, di berbagai lini kehidupan, banyak bidang yang ditugasi menjadi pemimpinnya, pekerjanya, dll, tidak memenuhi syarat kompetensi sesuai bidang dan keahliannya. Malah sekadar sebagai ajang bagi-bagi karena urusan politik, oligarki, dan dinasti.
Ujungnya, mana yang dapat amanah? Mana sisi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang dapat dientaskan? Jangankan amanah dan membuat dampak adil dan sejahtera, sebab mengurus dirinya sendiri saja belum kompeten.
Di berbagai lini
Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kecakapan, mengetahui, berwenang, dan berkuasa memutuskan atau menentukan atas sesuatu.
Bila diidentifikasi, di negeri ini, berapa banyak urusan, tugas, masalah, kegiatan, program, dll yang tidak ditangani atau bahkan tidak diserahkan kepada ahlinya, yang mampu dan kompeten.
Di tingkat pemerintahan Indonesia, baru saja Presiden mengangkat menteri dan pembantu menteri. Rakyat pun banyak yang bertanya, apa yang diangkat dan ditugaskan menjabat oleh Presiden, orang yang kompeten?
Di DPR dan para pemimpin daerah, di KPK, dll persoalan kompetensi juga terus menjadi buah bibir, hingga persoalan korupsi terus mengalir.Â
Di federasi sepak bola Indonesia, baru saja ditetapkan komite-komite. Publik sepak bola nasional pun berteriak. Mengapa komite-komite hanya sekadar asal bagi-bagi. Apakah benar yang diberikan jabatan orang yang kompeten di bidangnya?
Di Indonesia juga masih sangat hangat kasus PPDB. Tentunya, PPDB yang menuai masalah bahkan hampir di seluruh Indonesia, akar masalahnya sama. Ada pihak yang tidak kompeten menerjemahkan aturan PPDB, sehingga aturan malah diselewengkan.
Lebih parah lagi, pondasi yang seharusnya menjadi kawah candradimukanya generasi Indonesia yang berkarakter, cerdas, kaya pikiran dan kaya hati, masih terus diselimuti oleh masalah yang sama. Guru/dosen yang menjadi ujung tombak pendidikan di Indonesia, dipenuhi guru-guru yang masih jauh dari kompetensi sesuai standar yang seharusnya.
Dalam kemasyarakatan, berapa banyak kegiatan yang diampu, dikelola, dipimpin, oleh-orang yang tidak ahli di bidangnya. Tentu tidak dapat dihitung. Sampai berapa ribu pelatih sepak bola akar rumput atau olah raga lain yang seharusnya tidak berada di akar rumput Indonesia karena belum kompeten, tetapi mereka malah bebas berada dan menjadi pelatih yang notabenenya, anak-anak usia dini dan muda, yang di sekolah formal saja, minimal gurunya berpendidikan sarjana.
Inilah kisah di Indonesia yang terus hadir mengalir melebihi mata air. Siapa yang dapat menghentikannya? Mereka yang seharusnya menjadi pencerah, panutan, dan teladan, justru terlibat di dalamnya. Malah terus mengambil bagian. Takut kehilangan yang bukan miliknya. Malah dijadikan senjata untuk menjajah. Terus bersembunyi di balik kata-kata untuk dan demi rakyat, misalnya.Â
Negeri ini pun semakin hanyut dalam orkestra di semua lini, dipenuhi pemimpin dan orang-orang yang tidak kompeten, tetapi menduduki jabatan dan tugas/pekerjaan yang tidak semestinya diemban oleh mereka.
Kehancuran, kekacauan
Atas masalah kompetensi ini, dalam agama Islam sudah diajarkan. Dan, yakin juga di semua agama, diajarkan hal yang sama. Bahwa menyerahkan urusan, kepemimpinan, tugas, pekerjaan, kegiatan, program atau sebuah masalah dll bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran atau kekacauan.
Jika sebuah urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka hal itu adalah "amanah yang disia-siakan".
Bila amanah itu disia-siakan, maka tunggulan kehancuran atau kekacauan. Masalah tak terseselaikan. Tugas, pekerjaan dll tidak dijalankan dengan benar dan baik.
Diajarkan pula bahwa barang siapa yang memegang kuasa, lalu dia memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik daripada orang itu, dia telah mengkhianati sang Pencipta.
Andai saja, di Indonesia, di semua lini kehidupan sampai di sekeliling kita, segala hal dan urusan diserahkan kepada ahlinya, berdasarkan kompetensi, keilmuannya, bukan atas dasar kolusi, nepotisme, balas jasa, atau bagi-bagi jabatan, yakin akan ada yang layak menjadi teladan.
Sebab, segala sesuatunya dimulai dengan cara yang benar dan halal. Yakin, pula, kita tidak akan lagi melihat, menjumpai orang-orang yang hanya pandai dan licik berlindung atau ada di ketiak yang sedang memimpin atau berkuasa, lebih punya seribu gaya dari junjungannya, meski kompetensinya sama-sama belum ada di tempatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H