Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mas Nadiem, PPDB Menjadi Arena Akal-Akalan, Mau Sampai Kapan?

8 Juli 2023   22:09 Diperbarui: 11 Juli 2023   13:30 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelas ini sangat merugikan calon siswa. Setelah dilakukan mediasi beberapa kali, pihak sekolah beralasan, memiliki kriteria sendiri menyangkut sertifikat kejuaraan. Lalu, setelah diubah status sertifikat kejuaraan nasional ke tingkat kota/kabupaten, karena sudah diketahui pihak provinsi, maka tidak bisa diubah. Luar biasa sekolah ini, memanipulasi data siswa dengan cara orangtua yang diminta mengubah. Lalu, ketika orangtua dan ada pihak yang membantu orangtua melakukan protes, pihak sekolah sudah menutup solusi. Bisa saja sekolah ini diadukan ke jalur hukum. Tetapi orangtua calon siswa justru legawa. Malah mendoakan sekolah yang telah menzalimi anaknya, selalu dalam lindungan Allah.

Untuk apa, status sertifikat nasional yang di sekolah lain, di kota yang sama tidak dipersoalkan. Dan siswa yang menggunakan sertifikat kejuaraan yang sama diterima di sekolah lain. Tetapi di sekolah bersangkutan, orangtuanya diminta mengubah menjadi status kejuaraan tingkat kota? Ini ketahuan satu siswa di zalimi, dengan cara yang sangat menyakitkan orangtua dan calon siswa. Calon siswa pun dibuat stres dan trauma, karena memperoleh sertifikat dengan cara yang benar dan halal. Sertifikat hasil jerih payah dan perjuangannya, sepertinya dikalahkan oleh pihak sekolah dengan cara meminjam tangan orangtua siswa, mungkin satu kursi lumayan, berapa juta bisa didapat oleh sekolah ini.

Masih kasus di jalur prestasi, banyak sekolah yang menyingkirkan calon siswa, yang memiliki skor sertifikat kejuaraan yang sama dengan calon siswa lain, tetapi tidak diterima, karena sekolah beralasan memilih siswa dari jalur prestasi yang beragam. Ada sekolah yang menyingkirkan siswa karena sekolah tersebut tidak ada pembinaan jalur prestasi seperti yang diraih calon siswa. Ada juga sekolah yang menyingkirkan calon siswa karena alasan uji kompetensinya atau tes praktiknya memiliki nilai rendah. Pokoknya, di jalur prestasi ini, banyak sekali dalih yang digunakan oleh sekolah.

Hampir dari semua kasus PPDB di jalur prestasi yang alasannya sudah terdengar lazim ini, orangtua siswa tidak dapat berbuat apa-apa. Sekolah-sekolah yang menggunakan alasan yang sudah lazim, bahkan sudah sangat dikenal oleh para orangtua di kota/kabupaten masing-masing. Namun, banyak orangtua siswa calon siswa baru, yang tidak mengetahui sejarah sekolah yang dimaksud, mendaftarkan putra/putrinya di sekolah tersebut, ujungnya menjadi korban baru. Demikian seterusnya, sekolah ini setiap PPDB menjadikan calon siswa baru korban di jalur prestasi.

Jalur zonasi dibatalkan

Berita terbaru, Sabtu (8/7/2023), ada Wali Kota yang membatalkan PPDB jalur zonasi. Pasalnya, banyaknya sekolah yang akal-akal-an dalam menerima dan memilih calon siswa baru melalui PPDB khususnya jalur zonasi atau prestasi, demi mencari keuntungan untuk sekolah bersangkutan, bilas oleh orangtua calon siswa baru.

Banyak orangtua yang mengakali dengan menggunakan Kartu Keluarga palsu, agar putra/putrinya dapat diterima di sekolah bersangkutan melalui jalur zonasi. Sebaliknya, tetap ada sekolah yang mengakali jalur zonasi ini demi keuntungan sekolah. Banyak warga di sekeliling sekolah yang menuturkan bahwa tetangganya yang tempat tinggalnya dekat dengan sekolah, tetapi tidak diterima melalui jalur zonasi, tetapi ada kerabatnya yang tinggalnya malah lebih jauh dari sekolah, justru diterima di sekolah bersangkutan.

Akal-akalan di PPDB, meneladani siapa?

Mas Nadiem, mengapa PPDB, sebagai awal mula untuk calon siswa menerima pendidikan yang benar dan baik, justru menjadi arena akal-akalan. Sekolah mengakali, menzalimi. Orangtua pun mencari celah agar anaknya tetap mendapat kursi dengan cara yang sama, tidak halal. 

Luar biasa. Siapa yang meneladani? Sebagian elite dan pemimpin di negeri ini, tetap menjadikan mengambil hak orang lain, sebagai program unggulan demi menutup tagihan politik pribadi dan yang diabdi. Sementara sekolah negeri menjadi pondasi regenerasi, bagaimana menjadi ahli dalam memanipulasi, cikal bakal lahirnya kompetensi korupsi. Di mana halal dan berkahnya rezeki (sandang, pangan, papan), bila mulai dari cara menempuh pendidikan sampai dapat pekerjaan, kursi, dan kedudukan, semua dari hasil mengakali dan menzalimi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun