Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mas Nadiem, PPDB Menjadi Arena Akal-Akalan, Mau Sampai Kapan?

8 Juli 2023   22:09 Diperbarui: 11 Juli 2023   13:30 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian elite dan pemimpin di negeri ini, tetap menjadikan mengambil hak orang lain, sebagai program unggulan demi menutup tagihan politik pribadi dan yang diabdi. Sementara sekolah negeri menjadi pondasi regenerasi, bagaimana menjadi ahli dalam memanipulasi, cikal bakal lahirnya kompetensi korupsi. Di mana halal dan berkahnya rezeki (sandang, pangan, papan), bila mulai dari cara menempuh pendidikan sampai dapat pekerjaan, kursi, dan kedudukan, semua dari hasil mengakali dan menzalimi?

Drs. Supartono, M.Pd. / Supartono JW. Pengamat/praktisi pendidikan nasional dan sosial. Pengamat/praktisi sepak bola nasional. Depok.08072023

Mas Nadiem, mengapa PPDB, sebagai awal mula untuk calon siswa menerima pendidikan yang benar dan baik, justru menjadi arena akal-akalan. Sekolah mengakali, menzalimi. Orangtua pun mencari celah agar anaknya tetap mendapat kursi dengan cara yang sama, tidak halal.

Sejak sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), diberlakukan di Indonesia, belum pernah sekali pun, PPDB lancar dan sukses tanpa menuai masalah. Bahkan, setiap kali PPDB digulirkan, bukan PPDB namanya, bila tidak ada sengkarut (hal yang melilit) di dalamnya. Tidak terkecuali PPDB tahun ajaran 2023/2024 untuk masuk sekolah negeri.

Manipulasi, kebijakan, alasan sistem

Dari pengamatan saya, dalam sepekan ini, seperti di wartakan oleh berbagai media cetak dan elektronik nasional, sengkarut PPDB, terjadi di beberapa kota/kabupaten di Indonesia. Kisah pihak sekolah yang mengakali PPDB untuk kepentingan pihak sekolah, biasanya, ada sekolah yang memanipulasi PPDB di jalur zonasi dan jalur prestasi. Ada sekolah yang membuat dalih kebijakan sekolah. Ada sekolah yang membuat alasan baku, karena sistem.

Dari kisah dan cerita yang beredar dari tahun ke tahun, entah benar atau tidak, mengapa sekolah melakukan hal demikian? Salah satu di antara alasannya, karena ada sekolah yang harus memberikan upeti kepada pengawas sekolah, dari hasil menjual bangku siswa. Ada sekolah yang menerima titipan siswa dari pihak tertentu. Ada sekolah yang memang bertujuan mencari dana segar, kesempatannya di PPDB.

Bangku siswa yang seharusnya menjadi milik siswa yang berhak, dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga siswa yang seharusnya dapat masuk sekolah bersangkutan melalui jalur zonasi atau jalur prestasi, tetapi nyatanya, siswa yang berhak malah namanya hilang dari daftar calon siswa. Ketika para orangtua mencoba menelusuri mengapa putra-putrinya terlempar dari daftar, alasan paling klasik yang sering mengemuka dan dijadikan ujung tombak alasan oleh pihak sekolah, disebutnya sekolah hanya mengikuti sistem yang ada.

Atau sangat lazim terdengar, bahwa sekolah menyebut, setiap sekolah ada kebijakan sendiri-sendiri dalam menentukan siswa yang akan diterimanya. Apalagi bila menyangkut jalur prestasi.

Bahkan ada kisah sekolah yang demi mencari aman, dalam kasus PPDB jalur prestasi, sampai mendatangkan orangtua calon siswa ke sekolah hanya demi meminta orangtua mengubah di data pendaftaran jalur prestasi, sertifikat kejuaraan yang statusnya nasional, orangtua diminta mengubah ke status kota/kebupaten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun