Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola

(4) Surat Terbuka 3 untuk Ketua Umum PSSI di Negeri 1001 SSB, Jelang Piala Dunia U-17

3 Juli 2023   14:50 Diperbarui: 3 Juli 2023   16:05 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Betapa mudahnya membuat kompetisi berjenjang sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) di Indonesia. Lihatlah, operator kompetisi swasta! Menjadi pahlawan sepak bola akar rumput di negeri 1001 SSB. Membentuk siswa menjadi bertalenta. Lihatlah! Para orangtua siswa, tidak pernah berhenti menjadi sponsor utama. Padahal tidak harus bertanggungjawab untuk pondasi Timnas Sepak bola Indonesia. SSB terus menjamur, tetapi tuan-nya, entah karena apa, terus buta mata hatinya? 

Apa susahnya, membuat wadah SSB tertib? Untuk dididik dan dibina, layaknya sekolah formal di Indonesia, mudah sekali intriknya. Alternatifnya, semua Klub yang resmi terdaftar mulai dari Askot/Askab, Liga 3, Liga 2, dan Liga 1, wajib memiliki pembinaan SSB di dalamnya. Semisal nama Klub Liga 1: Indonesia FC, maka SSBnya: SSB Indonesia. Ini berjenjang terjadi dari Klub anggota Askot/Askab, naik ke Liga 3, Liga 2, hingga Liga 1. SSB yang tanpa Klub, karena ada lebih dari 1001, biarkan mereka tetap ada, anggap saja sebagai SSB semacam olah raga fun game.

Apa fungsinya turnamen seperti Elite Pro Academi (EPA), coba? Bagaimana Klub Liga 1 membentuk tim untuk EPA, coba? Pondasi pemain Timnas dari sepak bola akar rumput wajib digarap di kompetisi. Bukan turnamen. Seharusnya, saat Klub Liga 1, 2, 3, PSSI serta Klub Liga Askot/Askab digulirkan, kompetisi berjenjang SSB, memiliki semua Klub pun bergulir. Semua ada dalam satu payung. Bila Kompetisi Liga 1,2, dan 3 ada operatornya. Kompetisi SSB mulai dari jenjang Askot?

Askab, Liga 3, Liga 2, hingga Liga 1, juga ada operatornya. Jangan malu gandeng operator kompetisi SSB Swasta yang sudah ada.  Atau buat operator sendiri yang kompeten dan bertalenta. Lalu, jangan jadikan kompetisi SSB berjenjang, sarang mafia. Semua itu, repotnya di mana, ya? Selama ini operator kompetisi SSB swasta mampu menjalankan dan hasilnya tinggal di petik Klub dan PSSI, bukan? Gartisan? Setop sepak bola dan PSSI hanya dijadikan "kendaraan". Ini sudah bukan zaman ketika Indra Sjafri harus blusukan.

Drs. Supartono, M.Pd. / Supartono JW. Pengamat, praktisi pendidikan nasional dan sosial. Pengamat, praktisi sepak bola nasional.

Hal: Surat Terbuka (3)

Yth. Ketua Umum PSSI

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pak Erick, mohon maaf.

Jujur saya miris, Indonesia menjadi peserta Piala Dunia U-17, tetapi PSSI tidak punya wadah kompetisi resmi yang seharusnya sudah membentuk calon pemain Timnas Indonesia di semua kelompok umur. Ada yang namanya Elite Pro Academy (EPA). Tetapi di dalamya sama sekali tidak mendeskripsikan elitenya, pro-nya, mau pun academy-nya. Dari sisi mana bisa disebut elite? Dari sisi sebelah mana disebut profesional? Dari sisi mana masuk kategori academy?

Apa PSSI sudah mengevaluasinya? Sudah benar keberadaan dan regulasinya? Sudah mendapatkan data kelemahan dan kelebihannya?

Bahkan, EPA pun sebuah turnamen kelompok umur di Liga 1, yang setiap Klub Liga 1 tidak sama-sama merasakan atau membentuk pemain. Ada Klub yang jungkir balik menyelenggarkan pendidikan dan pelatihan di sektor kelompok umur, dengan gaya-gaya- pakai menyebut akademi segala. Mengelurakan biaya besar. 

Tetapi banyak Klub Liga 1 malah menjual namanya kepada pihak lain, demi pihak lain dapat ikut merasakan EPA. Klub tidak harus repot membina pemain dan mengeluarkan biaya. Tetapi malah dapat uang dari pihak yang membeli namanya. Para pemain pun, yang direkrut pihak yang memakai nama Klub atau Klub yang tidak pakai pihak lain, tinggal mencomot pemain dari siswa SSB dengan berbagai dalih. Yang umum pakai rumus seleksi terbuka.

Pihak penyelenggara seleksi terbuka pun ikutan dapat mereguk rupiah karena peserta seleksi terbuka dipungut biaya. Setali tiga uang, orang tua peserta pun seperti kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja, sebab terbuai mimpi, anaknya ingin jadi pemain Timnas Indonesia.

Saat anak dianggap lolos seleksi, barulah permainan dimulai. Anak yang dianggap lolos, biasanya akan terkena pajak lagi. Lalu, diminta surat sakti, yaitu surat keluar dari SSB yang sudah mendidik dan membinannya. Karena regulasi yang dibuat PSSI memang seperti itu. Keren.

Pak Erick, apa EPA mau dilanjutkan? Ke mana pemain jebolan EPA kemarin? Ke mana pemain yang sudah tidak di pakai Klub Liga 1 di EPA? Ke mana mereka? Bukankah sudah minta surat keluar dari SSB-nya. Tetapi banyak pemain yang kini juga sudah terlantar. Kemana itu Klub Liga 1? Lalu, untuk apa Garuda Select juga? Program siapa, itu? Sekarang jadi seperti apa?

Pembiaran yang dibutuhkan

Sampai detik ini, kompetisi sepak bola akar rumput atas nama SSB yang berjenjang terus digarap oleh operator swasta. Dibiarkan oleh PSSI. Tetapi hasilnya tinggal diambil Klub dan PSSI.

Inilah manajemen konflik yang cantik. Butuh, tetapi tidak mau repot dan tidak mau rugi. Namanya, pembiaran yang dibutuhkan.

Saya yakin, "mereka" sadar. Sebuah kompetisi, tidak dapat dipungkiri, akan membentuk perkembangan teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS), baik secara tim mau pun individu pemain. Dari kompetisi inilah. Apalagi bila dilakukan secara berjenjang dan konsisten, maka Timnas Sepak bola sebuah federasi di suatu negara akan kuat dan kompeten. Sudah terbukti digelar konsisten di negara yang yang melahirkan pemain multi talent.

Bagaimana dengan di Indonesia? Faktanya, demi menghadapi Piala Dunia U-17 saja, PSSI malah melakukan perbuatan sangat lucu. Yaitu mau melakukan seleksi pemain secara instan seperti model audisi penyanyi saja. Plus sibuk mencari pemain diaspora yang dianggap sudah jadi di luar negeri. Itu pun pemain yang kini tengah dalam kompetisi di negara tempat pemain berada.

Ironis, sebuah negeri lebih dari 1001 SSB, tetapi demi sebuah Timnas bernama U-17, yang notabenenya adalah garapan jejang tertinggi di kelompok umur SSB Indonesia, harus mencari pemain dengan cara seperti mencari calon penyanyi, yang selama ini memang tidak ada kompetisi berjenjangnya.

Demi mendunia, mendatangkan Juara Dunia dan menjadi tuan rumah Piala Dunia, tetapi tetap belum terdengar rencana untuk sepak bola akar rumput yang menjadi pondasinya. Atau memang sepak bola hanya pondasi untuk menuju jalan ke tempat lainnya. Sepak bola hanya sebuah kendaraan?

Lihatlah yang lucu lainnya

Perhatikanlah. Kisah yang sejatinya, bila pahami dan disadari dengan hati dan pikiran paling dalam, apa yang kini terus terjadi dengan sepak bola akar rumput Indonesia yang selalu diabaikan?

Catat! Dalam setiap kompetisi SSB yang di helat oleh opertator swasta di Indonesia, selalu ada tim yang akan memiliki poin paling banyak. Poin yang didapatkan dari kemenangan demi kemenangan atas SSB peserta lainnya. 

Pada akhirnya, SSB ini pun akan dinobatkan menjadi juara kompetisi. Pertanyaannya, bila yang pada akhirnya keluar sebagai juara kompetisi adalah dari SSB pembinaan murni, yaitu SSB yang mendidik, melatih, dan membina siswa apa adanya, dari siswa yang datang mendaftar di SSB bersangkutan, tanpa ada seleksi apa pun. Tetapi ikut terlibat dalam kompetisi, tetapi lawannya adalah SSB-SSB yang siswanya hasil seleksi atau pilihan, tentu ini sangat mengagumkan.

Tetapi, jangankan SSB pembinaan murni dapat menjadi juara, saat laga kompetisi bertemu dengan SSB yang siswanya pemain pilihan, mampu mengimbangi, atau bahkan mampu mengalahkan dengan menang permainan dan menang gol, itu sebuah prestasi yang luar biasa.

Selain itu, yang wajib disimak oleh PSSI dan stakeholder terkait, sebab wadah SSB di Indonesia tidak bertuan dan belum dianggap oleh PSSI, maka meski pun banyak SSB yang sudah didirikan dengan "modal" kuat. Memiliki siswa pun dengan cara merekrut atau menyeleksi siswa dari SSB lain, dengan iming-iming beasiswa alias bebas biaya iuran bulanan/latihan/turnamen/kompetisi. Atau sebaliknya, SSB yang menawarkan segala kelebihan hingga dapat tour ke manca negara (Asia hingga Eropa). Sehingga yang menjadi siswa pun terbatas hanya anaknya orang-orang "kaya". Serta ada SSB-SSB dengan model-model lainnya, menawarkan keunggulan demi menarik siswa.

Tetapi seperti asam di gunung dan garam di laut. Semua SSB itu (atau yang disebut dengan gaya-gaya-an pakai nama akademi dll), bertanding dan berkompetisnya pun ikut kompetisi yang dihelat oleh operator swasta yang sama, yang diikuti juga oleh SSB-SSB pembinaan murni, yaitu SSB yang mendidik, melatih, dan membina siswa yang datang dan menjadi siswa SSB tanpa perlu seleksi TIPS.

Bila PSSI bersikap

Atas kondisi ini, bila PSSI bersikap, semua Klub mulai dari Klub Anggota Askot/ Askab, Klub Liga 3, Klub Liga 2, dan Klub Liga 1 semuanya memiliki SSB dengan kelompok umur yang berjenjang, lalu memutar kompetisi resmi SSB yang berjenjang dan konsisten, kira-kira apa yang akan  terjadi dengan sepak bola Indonesia?

Apa menyiapkan Timnas Indonesia U-17 harus audisi pemain hanya terbatas di 9 wilayah Indonesia. Harus tidak punya malu, mencari pemain diaspora di manca negara? Lalu, harus repot-repot membentuk Timnas instan dan pemusatan pemain di Eropa? Padahal, talenta Indonesia, istilahnya ada di 1001 SSB, sebab jumlah SSB di Indonesia bisa lebih dari 1001, tetapi tidak bertuan kepada Klub Anggota Askot/Askab, tidak bertuan kepada Klub Liga 2, Liga 2, hingga Liga 1.

Apa bila semua SBB sudah bertuan, maka SSB-SSB fun games adalah sasaran dari SSB resmi untuk mencari pemain. Bukan, mencomot pemain dari sesama SSB resmi, karena, pasti sudah ada regulasi dan hukum yang memayungi.

Pembinaan sepak bola akar rumput benar-benar menjadi pondasi sepak bola nasional. SSB dari Klub Liga 1 dapat mentransfer/membeli pemain dari siswa SSB di Klub Liga 2, Liga 3, atau Klub Anggota Askot/Askab. Tidak akan ada siswa SSB membela Klub Liga 1 hanya dengan gratisan, dengan regulasi sakti, minta surat keluar.

Pak Erick, tolong, ya?

Terima kasih bila dibaca dan ada perhatikan. Sudah 2 Surat Terbuka, Lho, saya tulis untuk Bapak!

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Drs. Supartono, M.Pd. / Supartono JW. Pengamat, praktisi pendidikan nasional dan sosial. Pengamat, praktisi sepak bola nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun