Apa PSSI sudah mengevaluasinya? Sudah benar keberadaan dan regulasinya? Sudah mendapatkan data kelemahan dan kelebihannya?
Bahkan, EPA pun sebuah turnamen kelompok umur di Liga 1, yang setiap Klub Liga 1 tidak sama-sama merasakan atau membentuk pemain. Ada Klub yang jungkir balik menyelenggarkan pendidikan dan pelatihan di sektor kelompok umur, dengan gaya-gaya- pakai menyebut akademi segala. Mengelurakan biaya besar.Â
Tetapi banyak Klub Liga 1 malah menjual namanya kepada pihak lain, demi pihak lain dapat ikut merasakan EPA. Klub tidak harus repot membina pemain dan mengeluarkan biaya. Tetapi malah dapat uang dari pihak yang membeli namanya. Para pemain pun, yang direkrut pihak yang memakai nama Klub atau Klub yang tidak pakai pihak lain, tinggal mencomot pemain dari siswa SSB dengan berbagai dalih. Yang umum pakai rumus seleksi terbuka.
Pihak penyelenggara seleksi terbuka pun ikutan dapat mereguk rupiah karena peserta seleksi terbuka dipungut biaya. Setali tiga uang, orang tua peserta pun seperti kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja, sebab terbuai mimpi, anaknya ingin jadi pemain Timnas Indonesia.
Saat anak dianggap lolos seleksi, barulah permainan dimulai. Anak yang dianggap lolos, biasanya akan terkena pajak lagi. Lalu, diminta surat sakti, yaitu surat keluar dari SSB yang sudah mendidik dan membinannya. Karena regulasi yang dibuat PSSI memang seperti itu. Keren.
Pak Erick, apa EPA mau dilanjutkan? Ke mana pemain jebolan EPA kemarin? Ke mana pemain yang sudah tidak di pakai Klub Liga 1 di EPA? Ke mana mereka? Bukankah sudah minta surat keluar dari SSB-nya. Tetapi banyak pemain yang kini juga sudah terlantar. Kemana itu Klub Liga 1? Lalu, untuk apa Garuda Select juga? Program siapa, itu? Sekarang jadi seperti apa?
Pembiaran yang dibutuhkan
Sampai detik ini, kompetisi sepak bola akar rumput atas nama SSB yang berjenjang terus digarap oleh operator swasta. Dibiarkan oleh PSSI. Tetapi hasilnya tinggal diambil Klub dan PSSI.
Inilah manajemen konflik yang cantik. Butuh, tetapi tidak mau repot dan tidak mau rugi. Namanya, pembiaran yang dibutuhkan.
Saya yakin, "mereka" sadar. Sebuah kompetisi, tidak dapat dipungkiri, akan membentuk perkembangan teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS), baik secara tim mau pun individu pemain. Dari kompetisi inilah. Apalagi bila dilakukan secara berjenjang dan konsisten, maka Timnas Sepak bola sebuah federasi di suatu negara akan kuat dan kompeten. Sudah terbukti digelar konsisten di negara yang yang melahirkan pemain multi talent.
Bagaimana dengan di Indonesia? Faktanya, demi menghadapi Piala Dunia U-17 saja, PSSI malah melakukan perbuatan sangat lucu. Yaitu mau melakukan seleksi pemain secara instan seperti model audisi penyanyi saja. Plus sibuk mencari pemain diaspora yang dianggap sudah jadi di luar negeri. Itu pun pemain yang kini tengah dalam kompetisi di negara tempat pemain berada.