(5) Dari segi infrastruktur, ada yang representatif, ada yang jauh dari representatif. Dari segi akademis, ada yang sangat akademisi, ada yang jauh dari akademis, meski wadahnya ada kata sekolah/akademi.
(6) Dari segi pendanaan, ada yang punya bos, ada yang orangtuanya kuat, ada yang tidak ada bos, ada yang orangtuanya tidak kuat, ada yang dapat sponsor, ada yang tanpa sponsor apalagi donatur. dll.
Kondisi ini, ibarat asam di gunung, garam di laut, yang ujungnya bertemu di satu belanga. Dan karena kondisi yang internal tim yang tidak sama, karena belum pernah ada Standarisasi SSB oleh PSSI, maka melakoni 15 pekan, bukanlah perkara mudah.
Bila dalam LFP U-14 akhirnya ada tim yang tidak sanggup melanjutkan kompetisi, pertama sejak pekan ke-8, berikutnya di pekan ke-14, tentu dapat disimpulkan kedua tim tersebut, terkendala oleh salah satu dari (6) indikator tersebut atau indikator lainnya.Â
Sekaligus menjelaskan bahwa, sebuah kegiatan, butuh manajemen dan organisasi yang benar. Untuk menuju benar itu, tidak murah! Apa maksudnya tidak murah? Saya bahas di artikel berikutnya.
Akibat mundurnya dua tim di pekan ke-8 dan pekan ke-14, juga dapat dimaklumi oleh seluruh pelaku yang terlibat di dalam komepetisi LFP ini. Ini memberi bukti bahwa tanpa ada perhatian dari PSSI, operator swasta dan SSB dapat saling membahu menggelar kompetisi. Sudah begitu, kompetisi pun ditambah beban fair play. Luar biasa.
Selanjutnya, LFP U-14 2023 sebagai kegiatan pilot project, karena baru diadakan dan diinisiasi pertama kali di sepak bola akar rumput Indonesia, tentu apakah rapornya dapat mencapai nilai berhasil atau belum berhasil, akan dapat  saya ulas setelah pekan terakhir, yaitu pekan ke-15, Minggu, 2 Juli 2023. Kita tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H