Teruslah, jangan berhenti menyuarakan fakta kebenaran kepada yang berkepentingan. Sebab, pada saatnya, bila sasarannya tetap buta mata dan buta hati, pihak lain akan tetap ada yang merespon, menanggapi, karena cerdas pikiran, rendah hati, peduli, dan kaya hati.
(Supartono JW.13062023)
Membudayakan menghargai keberadaan smartphone/ponsel pintar (ponpin) dengan pikiran dan hati yang jernih, iklhas, selalu berupaya cerdas, sehingga ponpin benar-benar saya jadikan pintu untuk membuka jendela dunia. Dunia apa saja. Saya senang sekali ketika di dalam ponpin saya, ada pesan masuk di Instagram, yang ternyata pengirimnya, memperkenalkan diri dari SSB dari Pontianak, Kalimantan Barat. Alasannya, karena memabaca artikel-artikel saya tentang SSB, dan tertarik.
Singkat kisahnya
Perlu saya sampaikan kisahnya, sebelum sampai saya tahu, dan membaca pesan di Instagram. Pada Senin pagi (12/6/2023) usai Salat Subuh, saya memeriksa PONPIN saya. Setelah memeriksa, seperti biasa, banyak pesan di WhatsApp (wa), juga ada pesan Instagram, di Facebook, Twitter, Line, Linkind, sampai Email. Biasanya, pesan-pesan yang masuk sudah saya baca dan saya respon langsung begitu pesan saya terima. Langsung saya baca. Langsung saya respon, meski pesan masuk hingga dini hari.
Namun, di hari Minggu (11/6/2023) sejak usai Salat Subuh hingga malam hari, saya melakukan aktivitas hari Minggu yang penuh. Kegiatan yang dirancang berurut hingga sampai malam hari. Akibatnya, demi melepas lelah, saya sudah dapat istirahat tidur pukul 23.00 WIB. Semua pesan masuk ke perangkat media sosial (medsos) saya pun, tidak lagi dapat saya baca atau respon.
Baru Senin pagi, semua pesan yang masuk baru saya baca, langsung saya sikapi, sebagai bentuk dari rasa syukur bahwa berkat kehadiran PONPIN yang mengiringi perkembangan zaman ini, komunikasi manusia menjadi sangat mudah. Dengan PONPIN ini, saya jadi sangat mudah untuk mencari dan berbagai ilmu pengetahuan, pengalaman, dan lainnya. Termasuk langsung merespon pesan sahabat dari Pontianak. Pesannya masuk di Instagaram saya pukul 03.49 WIB.
Responnya, agar saya dapat mencari tahu siapa pribadi yang bersangkutan, apa yang membuatnya tertarik dengan artikel-artikel saya, mengapa sampai bisa membaca artikel saya, dan apa yang didapat dari artikel saya, serta apa gunannya membaca artikel saya, saya pun menjawab dengan langsung memberikan nomor PONPIN saya.
Hampir satu jam, saya menyelami persoalan Sekolah Sepak Bola (SSB) dan persoalan sepak bola akar rumput di Pontianak dengan langsung berteleponan. Apa isi dari penyelaman itu? Kepada sahabat saya ini, saya mohon maaf, bila kisahnya ada yang kelebihan atau malah kurang dalam tulisan ini.
Menyamakan pemahaman pengetahuan
Saat saya menelpon sahabat baru saya ini, pertama saya samakan wawasan dulu. Saya tanyakan pendidikan terakhirnya apa. Sudah berapa lama mengelola SSB. Apa latar belakangnya sampai dapat mengelola SSB.
Sahabat saya ini, pendidikan terakhirnya adalah Magister (S2), namun bukan bidang olah raga. Tetapi memiliki lisensi kepelatihan sepak bola. Mengelola SSB di Pontianak sudah berjalan sekitar delapan bulan. Latar belakangnya bukan dari pegiat atau praktisi sepak bola, tetapi sangat konsen terhadap sepak bola akar rumput.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana menemukan artikel saya terkait sepak bola? Jawabnya, berawal dari keprihatinan masalah sepak bola akar rumput di daerahnya, maka sahabat saya ini googling. Googling mengacu pada istilah pencarian informasi di internet dengan menggunakan mesin pencari bernama Google.
Googling=membaca=belajar=tahu, bukan sok tahu
Maaf. WAHAI yang mengaku pegiat sepak bola akar rumput di wadah SSB atau nama lain yang sekadar gaya-gaya-an, yang antipati ketika di grup wa ada yang ngomongin politik, padahal sepak bola itu, ya politik. Lalu, malas membaca isi informasi/berita/bacaan/lainnya dari apa yang dibagikan dalam grup wa, tapi hanya sekadar membaca judulnya, langsung sok tahu.
Lihat, yang namanya pendidik, pelatih, pembina yang sama dengan dengan guru, ilmunya harus lebih banyak, lebih tinggi dari siswa, peserta didik, murid, pemain. Ada mencari ilmu dan pendidikan di sekolah formal. Di kampus. Dan, di zaman modern ini, googling juga kegiatan seperti sekolah atau kuliah.
Senang, ada pegiat sepak bola akar rumput, memperkenalkan diri kepada saya, ternyata dari hasil googling. Bila, tidak googling, mustahil saya juga dapat menulis artikel fakta ini, tentang adanya pegiat sepak bola akar rumput yang mau belajar dan belajar lagi, memanfaatkan kemajuan zaman, dengan googling.
Hasil googling
Dari hasil googling, ternyata sahabat ini menemukan beberapa artikel saya di media online sesuai dengan data-data atau pengetahuan yang dibutuhkan, sekaligus untuk meredam rasa prihatin dengan apa yang terjadi dengan sepak bola akar rumput di daerahnya. Keprihatinannya, seperti banyak siswa SSBnya dan siswa dari SSB lain yang diambil oleh SSB lainnya tanpa ada komunikasi dan izin. Sehingga, ada SSB yang tidak dapat melanjutkan kiprahnya, karena berkurangnya siswa. SSB juga tidak ada dalam pola pembinaannya dari Askab bahkan hingga Asprov. Lalu, apakah menyoal afiliasi SSB itu masih ada programnya?
Ribuan artikel sampai surat terbuka untuk Erick Thohir
Selama hampir satu jam banyak sekali informasi yang saling kita bagi. Sampai saya sampaikan ke sahabat saya ini, menyoal sepak bola akar rumput Indonesia, sudah ratusan, malah mungkin ribuan artikel saya tulis di berbagai media cetak dan online Indonesia. Bila dibukukan, entah sudah dapat menjadi berapa jilid buku.
Tetapi, sampai pada lahirnya Ketua Umum PSSI baru, Erick Thohir, saya pun sudah membuat 3 Surat Terbuka di media online, khusus untuk Erick Thohir, Pak Ketum sepak bola kita ini, sama sekali belum merespon tulisan saya di mana pun. Malah mungkin belum sempat melihat apalagi membacanya.
Sebab sangat sibuk mengurusi sepak bola dewasa. Lupa bahwa sepak bola dewasa itu pondasinya sepak bola anak-anak. Bisa mendatangkan Timnas Argentina yang biayanya ratusan miliar. Bisa ke Jepang membuat kesepakatan kerjasama menyoal wasit, misalnya. Lalu, ke Jerman mencari Direktur Teknik untuk PSSI. Tapi terus tak ada hati dan pikiran untuk sepak bola akar rumput yang wadahnya tidak pernah dibuat kejelasan atas fungsi dan kedudukannya. Regulasinya. Kompetisinya.
Tidak menanam, tapi memetik
Bahkan, mungkin tidak tahu, Klub Liga 1 hanya menyomot pemain dari wadah sepak bola akar rumput. Tiket menyomotnya, Wadah sepak bola akar rumput bernama SSB, wajib mengeluarkan Surat Keluar bagi siswa yang telah dididik, dilatih, dan dibina berdarah-darah, tetapi diambil secara gratisan. Siapa yang membuat regulasi pemain SSB diambil gratisan? Saya ingat betul, ini zamannya Ratu Tisha masih di PSSI, sebelum PSSI sekarang. Zamannya Ratu Tisha, juga ada program afiliasi SSB, ke mana program itu sekarang?
PPKGBK keren
Lebih ironis, tahun 2018, justru saya diundang untuk membantu Pusat Pengelola Gelora Bung Karno (PPKGB), menjadi NARA SUMBER dalam menyikapi anarkisme suporter di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) yang saat itu dirusak oleh suporter sepak bola, padahal baru direnovasi.
Khusus untuk PPKGB, tidak hanya menjadi NARA SUMBER, saya bahkan sampai membuat rancangan PROGRAM EDUKASI SUPORTER SEPAK BOLA INDONESIA (PESSI). Tetapi, PPKGBK hanya membutuhkan alternaterif dan solusi untuk mengatasi suporter anarkis khusu di SUGBK. Saat itu, Direktur Utama PPKGBK pun menyampaikan kepada saya, PESSI seharusnya merupakan PROGRAM PSSI.
Pak Erick, Rancangan PESSI, sampai sekarang masih saya simpan, lho. Padahal PESSI saya tulis sebelum tragedi KANJURUHAN. Apa kata FIFA bila kerusuhan suporter terjadi lagi di sepak bola Indonesia? Sudah banyak media yang mengulasnya, bukan?
Gajah di seberang laut tampak, semut di depan mata tak terlihat
Mendengar kisah sepak bola akar rumput, kompleksitas, dan carut-marutnya sepak bola Indonesia yang semuanya sudah saya tulis dalam artikel hingga dalam Surat Terbuka  untuk Erick Thohir, sahabat ini pun tertegun. Jangankan, khususnya sepak bola akar rumput di pelosok Indonesia tersentuh dan disentuh. Yang di depan mata pengurus PSSI saja ibarat GAJAH di pelupuk mata tak tampak, SEMUT di seberang lautan KELIHATAN.
SURAT TERBUKA SAYA, sudah diabaikan beberapa lama. Itu saya catat pak Erick. Sampai Pak Erick terus mengabaikan, saya akan tetap konsisten membela sepak bola akar rumput yang terus hanya dijadikan hasil produk yang tinggal dipetik. Luar biasa, tidak menanam, tapi mau memetik.
Mengampu sepak bola akar rumput, wajib kompeten
 Kembali ke sahabat dari Pontianak ini. Sesuai dengan pendidikan terakhirnya, kiprah, dan pemahamannya tentang sepak bola akar rumput, sahabat ini pun menyadari kesalahannya, yaitu nama tim yang dibuatnya bukan SSB tetapi FC (football club) padahal hampir lebih dari delapan bulan mendidik, melatih, dan membina anak-anak usia di bawah dua belas tahun. Saya bangga, kenal dengan sahabat dari Pontianak ini.
Sepak bola milik voters, kendaraan politik, rakyat sapi perah
Saya bersyukur, sejak saya menggeluti sepak bola akar rumput yang terus menjadi benang kusut di negeri sendiri, sahabat-sahabat saya dari seluruh penjuru Indonesia, sudah melakukan komunikasi dengan saya. Berbagi keprihatinan yang sama. Tetapi apa daya. Sepak bola Indonesia, di PSSI hanya milik para voters. Bukan milik rakyat. Tetapi, mendatangkan Timnas Argentina, rakyat juga yang membeli tiket. Memutar Kompetisi, para sponsor mau menjadi sponsor klub pun, sponsor melihat rakyat yang mendukung klub.
Jadi, publik sepak bola nasional sampai pegiat sepak bola akar rumput yang rakyat, tak ubahnya sapi perah di kancah politik Indonesia yang hanya dibutuhkan suaranya untuk kursi jabatan/kedudukan/kekusaan. Setelah itu, dilupakan. Begitu pun dalam sepak bola nasional, rakyat juga sapi perah bagi PSSI dan Klub demi menghadirkan sponsor atau mencari nama, menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan, termasuk politik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H