Sepanjang sejarah 93 tahun PSSI. Baru di kepemimpinan Ketua Umum ke-12 Agum Gumelar (1999-2003), di bawah Direktur Pembina Usia Muda, Ronny Pattinasarany, nama Sekolah Sepak Bola (SSB) resmi digaungkan oleh PSSI. Ada turnamennya. SSB yang terpilih, masing-masing mendapat bantuan 2 pelatih atletik (lari) dari PB PASI. Meski tidak membantu subsidi biaya operasional SSB, dalam event, SSB diberikan subsidi biaya transportasi. Pembina dan pelatih pendamping diberikan uang transpor.
Setelahnya, bagi sebagian besar Sekolah Sepak Bola (SSB) di Indonesia, tanpa ada dukungan anggaran dari PSSI dan stakeholder terkait, tanpa ada sponsor dan donatur, iuran SPP orangtua yang tidak lancar bahkan tidak membayar. Latihan siswa yang banyak izin sebab waktunya sekarang diambil oleh MERDEKA BELAJAR. Kedudukan, fungsi, hingga kompetisi SSB tidak pernah ada regulasi dari PSSI. Tetapi sebagian besar SSB di Indonesia yang tahan banting, Â tetap beroperasi demi tetap menjadi pondasi lahirnya talenta sepak bola handal Indonesia, untuk Timnas. Dengan SPONSOR UTAMA orangtua dan PEMILIK SSB. Tanpa pernah ada subsidi SERUPIAH pun dari yang seharusnya MENANGGUNGJAWABI. Tapi maunya hanya MEMETIK. Malah, demi "sesuatu" PULUHAN MILIAR, digelontorkan untuk menghadirkan ARGENTINA, sebab sekarang, "BILANGNYA" tidak MISKIN.
PSSI sudah berusia 93 tahun, SERUPIAH pun belum pernah ada bantuan/subsidi biaya operasional untuk SSB yang digaungkan menjelang 25 tahun sejak Kids Soccer Tournament. Turnamen SSB resmi yang digelar PSSI, pertama dan terakhir, Juli 1999. Siapa yang bangga dengan Emas SEA Games 2023?
Drs. Supartono, M.Pd. (Supartono JW)
Pengamat pendidikan nasional dan sosial
Pengamat sepak bola nasional
(26052023)
Sebagai rakyat jelata pecinta sepak bola Indonesia, dengan meneladani tokoh masyarakat di kampung saya, di sebuah Kabupaten, Jawa Tengah, (1978-1987), yang juga tidak kaya harta, namun kaya pikiran dan kaya hati, dengan ringan tangan membantu anak-anak, remaja, hingga orang dewasa dapat bermain bola dengan fasilitas, sarana, pikiran, waktu, tenaga, dan uangnya, yang disediakannya tanpa pamrih untuk masyarakat.
Maka, berbekal pengalaman menjadi pemain sepak bola kampung dan Kabupaten saya, serta bekal pengalaman menjadi pengurus Karang Taruna di kampung. Bekal pengalaman menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) hingga pengurus Senat di Kampus saya, saya pun ikutan membuat klub sepak bola remaja di sebuah kampung di Jakarta Timur sejak 1989 hingga 1998.
Spirit dan teladannya adalah tokoh masyarakat di kampung saya itu, yang bukan anggota partai politik, tidak pernah Nyaleg, tidak terpikir kursi jabatan dan kekuasaan, tidak ada dinasti, tidak mengenal oligarki, pun tidak ada cukong, tapi hidupnya dicurahkan untuk kemaslahatan masyarakat melalui olah raga sepak bola tanpa pamrih, tanpa pernah mengeluh, walau pun stakeholder terkait di kampung tidak ikut membantu.
Meneladani beliau, saat itu, setelah saya menjadi mahasiswa dan Ketua Karang Taruna di sebuah RW di Jakarta Timur, menjadikan saya mudah membentuk dan melahirkan kegiatan kesenian dan olah raga remaja di lingkungan tersebut sesuai program dan terencana. Bahkan, terbuka dan mengakomodir para remaja dari lingkungan lain, kampung lain.
Sebab, cita-cita saya, setelah diterima sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta melalui jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) 1987, dalam hal sepak bola, saya berharap dapat dekat dengan dua tokoh nasional yang menjadi idola saya.
Dalam sepak bola, saya mau dekat dan mendapatkan ilmu dari Ronny Pattinasarany. Dalam kesenian, saya mau dekat dan menjadi anggota Keluarga Besar Teater Koma, menjadi murid suhu Nano Riantiarno. "Red" (dua cita-cita saya itu terwujud).
Kembali ke Klub Kampung, singkat cerita, Klub kampung itu dapat hidup seadanya kurang lebih 10 tahun. Tanpa dukungan donatur mau pun sponsor, meski setiap latihan, uji tanding, dan saat ikut kompetisi memerlukan biaya lapangan, biaya sarana dan prasarana. Bagi saya, terpenting, anak-anak kampung dapat bermain bola secara teratur sesuai jadwal. Terhindar dari pergaulan bebas, narkoba, miras, hingga tawuran; sebab kampung yang saya maksud, letaknya di sekitar Stasiun Jatinegara Jakarta Timur.