Sejatinya, bila semua muslim di Indonesia tanpa kecuali, adalah benar telah masuk kategori makhluk individu, makhluk beragama, makhluk berbudaya, dan makhluk sosial yang benar dan sesuai standar, maka siapa pun dia, akan mampu menempatkan dirinya secara netral, obyektif, tidak memihak. Tentu, mereka adalah manusia-manusia.yang telah selesai dengan dirinya. Sehingga tahu diri dan rendah hati, karena ceras pikiran dan hati.
Hanya ikutan, tidak tahu
Sulitnya menjadi manusia yang netral, obyektif dan tidak memihak. Tidak kunjungnya sesorang mencapai standar menjadi makhluk individu, beragama, berbudaya, dan sosial yang benar dan baik, karena kendala pendidikan, kesejahteraan, dan keadilan, maka banyak sekali manusia-manusia yang dalam langkap kehidupannya, hanya ikut-ikutan. Tanpa tahu dan paham.
Sebagai bukti, meski ini bukan sebuah.
penelitian, hanya sekadar menjaring fakta, pada Rabu (19/4/2023), saya melakukan wawancara singkat dengan beberapa pemudik yang singgah di rest area km 166 Tol Cipali, untuk rehat dan menjalankan ibadah di sela perjalanan mudik dengan keluarganya.
Dari masing-masing dua orang yang saya tanya, mengapa merayakan Idul Fitri pada Jumat, (21/4/2023) dan yang merayakan pada Sabtu (22/4/2023), jawabannya, ternyata sama. Yaitu, sama-sama mengikuti. Ikut pemimpinya dan ikut pemerintah.
Tetapi, saat saya tanya alasannya apa? Mereka tidak mampu menjelaskan alasannya dari sudut pandang individu, agama, budaya, dan sosial. Jadi, saya simpulkan, mereka hanya ikut-ikutan, tidak tahu dan paham.
Kira-kira, bagaimana dengan masyarakat yang lain? Apa sama dengan yang sekadar ikut-ikutan ini? Tentu bagi masyarakat yang tahu dan paham latar belakang, tujuan, dan sasarannya,
keputusan yang disampaikan Menag, tentu disambut suka cita oleh muslim yang tahu dan paham mengapa keputusan itu diambil dan rakyat Indonesia  akan merayakan Idul Fitri mengikuti keputusan pemerintah.
Sebaliknya, bagi muslim yang akan merayakan Salat Ied pada Jumat, 21 April 2023, tentu, keputusan tersebut bagi muslim yang tahu dan paham alasannyan tidak akan mengubah pendiriannya pula.
Kira-kira, dari narasi tersebut, apakah saya orang yang netral, obyektif, dan tidak memihak dalam menyikapi 1 Syawal 1444 H. di Indonesia berbeda hari dan tanggal?
Apakah saya, orang yang dapat menilai mana yang benar dan yang salah? Mana yang egois dan tidak egois? Mana yang memanfaatkan momentum demi suatu tujuan kepentingan? Mana yang menjadikan 1 Syawal untuk kendaraan kepentingan? Dan lainnya.
Orang-orang yang cerdas intelegensi dan personality, tentu paham dan tahu, apa alasan dan tujuan, mengapa 1 Syawal 1444 H di Indonesia berbeda hari dan tanggal.