"Gak diajak Pak Erick, Ton. Ngurusi PSSI?" itulah komentar sahabat, sesaat saya menge'share' info kegiatan SSB di Instagram saya, @supartono_jw. Saya pun langsung membalas komentar tersebut: "Ha ha ha... ya. Ga diajak Om."
Sekadar kelalar
Sejatinya, komentar yang saya pahami sebagai sekadar kelakar ini, ada beberapa arah yang dituju. Namun demikian, saya pun membalas kelakar itu, dengan fakta sekaligus nada bercanda.
Jujur, sebagai pelaku dan pecinta sepak bola nasional, puluhan tahun aktif sebagai praktisi dan pengamat sepak bola nasional. 3 periode menjadi pengurus PSSI Daerah, saat masih zaman Pengcab, sebelum Askot/Askab. Dengan itu, minimal saya tahu persis kondisi di dalam gerbong organisasi PSSI termasuk PSSI pusat.
Tahu persis menyoal statuta dan pervoteran yang semuanya tidak pernah lepas dari skenario dan penyutradaraan, maka begitu PSSI tersandung tragedi Kanjuruhan. Ujungnya ada KLB, ada Ketua dan pengurus baru PSSI, yang seolah memang bak gayung bersambut antara tragedi Kanjuruhan dan Kepentingan.
Kongres Luar Biasa (KLB) pun terwujud. Bahkan sesuai skenario dan penyutradaraannya yang mudah dibaca. Sehingga drama KLB sudah dapat ditebak endingnya sebelum KLB dimulai.
Atas kondisi yang selalu penuh drama ini, membuat saya antipati alias tidak simpati terhadap kepengurusan PSSI selama ini.
Terlebih, terbukti, begitu drama KLB usai, benar Erick Thohir, Zainudin Amali, Ratu Tisha, 6 exco lama, menjadi bagian dari pengurus PSSI yang dimainkan dramanya oleh aktor voter, mengikuti skenario dan arahan sutradara yang ditemboki statuta buatan mereka juga.
Saya berpikir, semoga ekspetasi publik sepak bola nasional terhadap Erick Thohir yang tidak mundur dari jabatan Menteri BUMN, dapat dibuktikan. Meski saya tetap tidak habis pikir, mengapa seorang Zainudin Amali, memilih mundur dari jabatan Menteri dan memilih menjadi wakil ketua PSSI.
Padahal semua tahu, Jabatan Menteri itu jelas. Sementara jabatan wakil ketua PSSI, mau ke mana?
Tolak ajakan, tidak tertarik