Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola

KLB PSSI, Drama yang Endingnya Mudah Ditebak?

15 Februari 2023   15:53 Diperbarui: 15 Februari 2023   17:02 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Punya uang seberapa banyak pun, bila untuk mengurus sepak bola di Indonesia, pasti akan terkuras dan jangan harap kembali. Tidak percaya? Ayo buktikan. Turun menjadi Pengurus PSSI atau Pemilik Klub, Pemilik Akademi/Diklat Sepak bola atau Pemilik SSB.

Sepak bola di Indonesia belum dapat sepenuhnya menjadi industri dan bisnis. Padahal bagi para praktisinya, sepak bola sudah menjadi lahan kehidupan. Namun, bagi para pegiat dan orang-orang yang mencintai sepak bola, tetap saja berebut ingin jadi pengurus PSSI, mulai dari tingkat Askot, Askab, Asprov, sampai PSSI Pusat.

Orang-orang juga berlomba menjadi pemilik Klub atau mendirikan akademi atau diklat atau SSB, meski tahu bahwa sepak bola tidak akan pernah membawa keuntungan finansial. Hanya sekadar kepuasan batin.

Apakah logo-logo sponsor (besar/kecil) yang menempel pada jersey dari Klub Liga 1, Liga 2, Liga 3, sampai Diklat, Akademi, hingga SSB memberikan keuntungan signifikan bagi pemilik Klub sampai SSB?

Banyak logo-logo sponsor yang menempel bahkan tidak ada kontribusi keuangan bagi Klub sampai SSB. Logo menempel hanya sekadar menyumbang jersey bagi Klub sampai SSB, namun tidak ada wujud uangnya bagi Klub sampai SSB. Padahal untuk biaya operasional, Klub hingga SSB butuh uang.

Karenannya, menjadi pengurus PSSI, yang seharusnya, PSSI dapat menghidupi pengurusnya serta menghidupi (baca: menggaji) anggota PSSI alias voternya, di Indonesia, justru sebaliknya, PSSI, terutama dari tingkat Askot, Askab, hingga Asprov dihidupi oleh pengurusnya.

Bagaimana dengan PSSI Pusat? Ini berbeda. Ada bagian di PSSI yang harus menjadi mesin uang. Mesin uang ini wajib menghasilkan uang demi membayar gaji para pengurus dan stafnya. Agar setiap bulan, gajinya terbayar.

Meski berbeda dari segi keuangan antara PSSI Askot, Askab, Asprov dan PSSI Pusat, kesamaannya adalah sama-sama menjadi kendaraan politik, atau menjadi sarana politik bagi pihak yang menyeponsori siapa yang menjadi pengurus.

Tidak bisa disangkal, PSSI mulai dari Askot, Askab, Asprov, sampai Pusat, semua membutuhkan anggaran logistik, yang sejatinya, mustahil dapat dipenuhi oleh para pengurus, bila para pengurus asalnya bukan miliarder atau jutawan.

Begitu pun keberadaan Klub Liga 1 sampai sekelas SSB. Mustahil Klub dapat bertahan bila sang pemilik bukan orang yang kelebihan uang.

Meski tetap ada perbedaan yang signifikan. Klub Liga 1 dan sebagian Klub Liga 2, akan gajian saat KB atau KLB dan saat Kompetisi digulurkan. Saat KB dan KLB akan selalu ada pundi-pundi uang yang masuk ke kasnya, sebab menjadi voter PSSI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun