Liga Fair Play (LFP) U-14, yaitu kompetisi usia muda yang digagas oleh Indonesia Junior Soccer League (IJSL) diikuti oleh 16 tim yang terpilih dan dipilih oleh panitia sesuai standar LFP, baru digulirkan pada Minggu, 5 Februari 2023 di Lapangan Mewah Sintetis, Ayo Arena, Sentul City, Bogor.
Liga ini, salah satu tujuannya adalah membekali pesepak bola usai muda dan para orangtuanya, serta seluruh pembina, ofisial, wasit, dan para penonton untuk benar-benar memahami arti fair play (di dalamnya ada sportivitas), sebagai pondasi untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang cerdas intelegensi dan personality.
Bila cerdas intelegensi dan personality, maka setiap individu tentu akan mampu mempraktikkan nilai-nilai fair play dalam permainan sepak bola. Selanjutnya dapat mengaplikasikan nilai-nilai fair play dalam kehidupan nyata di berbagai bidang  yang digelutinya.
Pada ujungnya, LFP U-14 mencoba ambil bagian untuk membantu mencerdaskan masyarakat/manusia  Indonesia agar memiliki pondasi kuat, tertancap dalam pikiran, hati tentang fair play, menularkan sikap dan karakter fair play ke semua lini kehidupan umumnya. Khususnya membentuk pesepak bola yang handal, cerdas, berkarakter, sebab tertanam kuat pemahaman dan nilai-nilai fair play dalam nafas kehidupannya.
Menyoal apa itu fair play yang di dalamnya ada nilai sportivitas, dalam artikel sebelumnya, sudah saya ulas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyebut sportif adalah bersifat kesatria, jujur. Sementara, arti fair play dalam Kamus Bahasa Indonesia-Inggris, artinya perlakuan wajar, permainan yang adil.
Kompetisi swasta, wasit tidak fair play
Sebelum LFP U-14 di gelar, dalam kompetisi sepak bola akar rumput yang digelar oleh berbagai operator swasta di Indonesia, terkhusus di wilayah Jabodetabek, yang menjadi barometer kompetisi sepak bola akar rumput Indonesia, saya sudah berkali-kali menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sikap dan perbuatan tidak fair play yang dilakukan oleh pemain, orangtua, dan wasit.
Sikap tidak fair play yang dilakukan oleh para pemain/pelatih/ofisial/orangtua terhadap tim lawan, sebagian besar dapat ditangani oleh wasit dan opertor kompetisi, plus disertai hukuman. Di antaranya kartu kuning, kartu merah dalam pertandingan, serta hukuman pengurangan poin atau peringatan/hukuman kepada pihak yang melanggar fair play secara tertulis.
Namun, berkali-kali saya juga menyaksikan kepemimpinan wasit yang tidak fair play. Biasanya, bila wasit tidak fair play, pihak operator yang bertanggungjawab akan mengambil tindakan melaporkan kepada komite wasit (Askot/Askab) yang ditugaskan menjadi pengadil untuk menindak wasit bersangkutan dengan hukuman sesuai peraturan.
Sayangnya, meski banyak tim dirugikan oleh keputusan wasit (baca: termasuk hakim garis), perbuatan fair play terus berulang dilakukan oleh wasit. Bahkan, saya juga sering melihat bahwa wasit yang sudah memiliki pengalaman memimpin laga dengan tidak fair play, justru masih ditugaskan memimpin laga-laga lanjutan.
Wasit-wasit seperti ini benar-benar menjadi momok bagi para pesepak bola usai dini dan muda serta para pembina dan ofisial tim yang berlaga. Sebelum berlaga, mengetahui yang memimpin adalah wasit dan hakim garis yang "paket" negatif karena sudah berkali-kali terketahui mempimpin dengan menyisakan kekecewaan, ternyata masih dipercaya mempin laga oleh Komite Wasit dan Operator Kompetisi.