Di antaranya:Â
1. Anak-anak akan semakin merasa memiliki tim yang menjadi wadah pengembangan sepak bola dan ilmu-ilmu menyoal kehidupan nyata dengan warna jersey kebanggaannya, yang menjadi cirinya.Â
2. Anak-anak bangga dengan timnya, karena memiliki jersey yang menjadi lambang kebesaran timnya.Â
3. Anak-anak akan menjaga jerseynya (baik milik sendiri/inventaris tim) sebab, jersey akan digunakan dalam waktu sepanjang kompetisi berlangsung, untuk tetap dalam kondisi baik. Apalagi, dalam kompetisi, jersey harus tetap sesuai nomor punggung.Â
4. Anak-anak memahami bahwa berkompetisi yang benar, urusan jersey ada aturannya, tidak boleh sembarangan.Â
5. Anak-anak menghargai peraturan, disiplin, yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
Selain untuk anak-anak, nilai-nilai kehidupan dari persoalan jersey yang tidak boleh sama ini, juga menjadi sangat vital bagi para pembina, pelatih, dan manajer tim yang terlibat. Sebab, banyak kejadian tidak pantas, tidak etik tidak santun, justru dilakukan oleh para pembina, pelatih, manajer tim yang kedudukannya sebagai tim home (kandang/tuan rumah).Â
Sangat sering terjadi, tim home tidak mau berkompromi, tidak mau diajak kerjasama saling memudahkan, tidak mau rendah hati, tetapi malah membikin sulit dan kesusahan tim yang disebut sebagai away (tandang).
 Menemukan fakta menyoal para pembina, pelatih, manajer yang tidak mau kompromi dan saling membantu dengan tim away, saya pastikan, para pembina, pelatih, dan manajer yang seperti demikian, tidak pantas berada di lingkungan sepak bola akar rumput, tempat pondasi pendidikan anak usia dini dan muda yang harus dimulai dari kerendahan para pembina, pelatih, dan manajer.Â
Pembina, pelatih, dan manajer yang seperti demikian, malah saya sebut sebagai oknum-oknum yang merusak citra sepak bola akar rumput Indonesia, karena meneladani egoisme, individualisme, tidak mau bekerjasama, tidak peduli, mau menang sendiri, tidak simpati-empati, tidak rendah hati, tidak membumi.
Oknum-oknum tersebut, jelas tidak lulus pedagogi, tetapi ada di lingkungan sepak bola akar rumput. Oknum-oknum tersebut, pun miskin atau rendah kognisi, rendah afektif, rendah psikomotor, yang selama ini saya banggakan sebagai sumbangsih sepak bola akar rumput untuk anak Indonesia, sebab Sekolah Formal masih gagal, mendidik hal tersebut.Â