Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Realita Baru, Orang yang Menyakiti Tetap Bahagia di Depan yang Disakiti

13 September 2022   06:49 Diperbarui: 13 September 2022   06:56 5980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Tetap nampak bahagia, ceria, banyak senyum, tawa, gembira, padahal telah menyakiti hati dan pikiran orang terdekat, pihak lain, rakyat dengan sikap, perbuatan, dan perkataannya. Itu adalah deskripsi realita karena faktanya, hati dan pikirannya sudah untuk yang lain. Yang disakiti, tetaplah tabah dan sabar, tidak perlu membalasnya, sebab hidup di dunia ini, ada yang disebut KARMA.

(Supartono JW.13092022)

Menyakiti dan disakiti, adalah bagian dari drama kehidupan nyata manusia di dunia.  Namun, sering terjadi, orang-orang yang telah bersikap, berbuat, dan berkata-kata yang menimbulkan sakit hati dan pikiran orang lain (suami/istri/anak/saudara/keluarga/teman/sahabat/rekan kerja/masyarakat), tetap bersikap bahagia, ceria, gembira, dllnya di hadapan orang-orang yang telah disakiti hati dan pikirannya.

Di parlemen, para wakil rakyat tetap saja terlihat senyum dan bahagia di depan kamera televisi dan wartawan, padahal karena sikap, perbuatan, dan kata-katanya, yang seharusnya memihak dan membela rakyat, justru ada yang menyakiti hati rakyat yang sedang terpuruk dengan langkah dan kebijakan yang tidak pro rakyat. 

Mereka tetap dapat tersenyum bahagia, sebab realitanya, keberadaan mereka di parlemen banyak yang hanya kedok untuk rakyat. Padahal faktanya untuk kepentingan dirinya, kelompok, dan golongannya.

Di pemerintahan, pun setali tiga uang. Meski banyak kebijakan dan peraturan yang menindas, hingga rakyat terus berkubang dalam penderitaan dan ketidakadilan, mereka juga nampak tetap terlihat "cengengesan" di depan kamera televisi dan wartawan.

Berikutnya, di seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat pun sama. Orang-orang yang sikap, perbuatannya menyinggung perasaan dan menyakiti hati orang lain, tetap dapat tersenyum dan nampak bahagia di hadapan orang-orang yang telah disakiti hati dan pikirannya.

Dalam urusan cinta, bila salah satu pihak sudah memiliki tambatan hati kepada orang lain, maka sikap, perbuatan, dan perkataannya yang sangat menyakitkan bagi orang yang selama ini dicintai dan mencintai, tidak ada pertimbangan lagi.

 Sebab, hati dan pikirannya, realitanya memang sudah untuk tambatan hati barunya. Masa bodoh, dengan yang disakiti hatinya, mau sesakit apa pun, dia akan tetap dapat tersenyum dan bahagia di depan yang disakiti, karena yang ada dihati dan pikirannya, tambatan hati yang baru.

Pun dalam hubungan suami istri, bila salah satu pihak sudah memiliki tambatan hati yang baru (pacar baru/selingkuhan), maka sikap, perbuatan, dan kata-katanya yang menyakitkan hati dan pikiran pasanganya,  memang sengaja dilakukan agar pasangannya paham, hati dan pikirannya sudah untuk tambatan barunya.

Sesakit apa pun hati pasangannya, si pemilik tambatan baru tidak akan peduli dan tetap akan dapat tersenyum dan bahagia di depan pasangan yang disakiti hati dan pikirannya, sebab, realitanya, dia sedang bahagia dengan pacar barunya/selingkuhannya.

Jangan berharap sikap yang sama

Dari kisah tersebut, ada hikmah yang dapat dipetik. Hikmahnya,

Pertama, saya/kita jadi tahu hati dan pikiran dia/mereka, kini untuk siapa.

Kedua, jangan berharap kepada orang yang telah menyakiti hati dan pikiran kita untuk dapat merasakan, bersikap, dan berbuat sama seperti kita yang sedang sakit hati dan sangat sedih, bila mereka tetap nampak bahagia di depan mata kita.

Ketiga, bagi yang sakit hati dan pikiran, menjadi tahu realita, bahwa orang yang menyakiti hati dan pikiran kita, hidupnya memang sudah untuk orang lain, bukan untuk kita. Maka, mereka tetap bahagia di atas sakit hati.dan pikiran kita.

Keempat, bila saya, kita menjadi orang yang disakiti hati dan pikiran oleh orang lain, maka ikhlaslah, instrospeksi, mawas diri agar tidak disakiti hati dan pikirannya oleh orang yang lain lagi. Jangan berharap, orang yang menyakiti hati dan pikiran kita untuk punya sikap, perbuatan,  dan perasaan yang sama dengan kita. Sebab, realitasnya berbeda. 

Dia menyakiti saya/kita, karena menurutnya/mereka, saya/kita memang layak disakiti. Dan, realitasnya dia/mereka tetap bahagia, tetap "cengengesan" di depan saya/kita karena sudah ada harapan yang baru.

Pada akhirnya, selalu ingat, ada karma. Bila selama ini saya/kita menjadi pihak yang disakiti hati dan pikirannya, tetaplah membalas orang/pihak yang menyakiti dengan sikap, perbuatan, dan kata-kata yang baik. Perbuatan dia/mereka, biarlah karma yang akan menghukumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun