Setelah didesak berbagai pihak karena publik sangat meragukan akan transparansi penanganan, akhirnya Kejaksaan Agung bersuara, tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) dalam gelar perkara terkait kasus dugaan penerimaan suap oleh jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Kepada awak media, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (31/8/2020) mengatakan bahwa jika perlu nanti akan dilakukan gelar perkara dengan mengundang kawan-kawan kami dari KPK untuk menjawab keragu-raguan publik dan memastikan, pihaknya akan melakukan koordinasi dan supervisi dengan KPK terkait perkara tersebut.
Lucunya, Hari pun masih sempat berkesah bahwa ada orang yang mengatakan penanganan Pinangki lelet dan membela diri bahwa apakah ada penanganan perkara yang lebih cepat dari ini.
Lebih lucu lagi, Kejakgung seperti sedang berada dalam kehidupannya sendiri, bukan sedang berada di NKRI. Tidak merasa sedang diperhatikan berbagai pihak dan rakyat, yang memaksakan mengambil alih penanganan Pinangki.
Padahal Komisi Kejaksaan (Komjak) pun telah menyarankan agar kasus jaksa Pinangki ditangani oleh penegak hukum independen seperti KPK. Komjak mengingatkan perlunya menjaga kepercayaan publik terutama terhadap jaksa yang disidik oleh aparat penegak hukum tempatnya bekerja.
Kepada awak media, Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak, Selasa (25/8/2020) mengatakan:
"Kami juga menyarankan untuk menjaga public trust Kejaksaan supaya melibatkan lembaga penegak hukum independen seperti KPK. Sebab, yang disidik adalah jaksa sehingga publik perlu diyakinkan prosesnya berjalan transparan, objektif, dan akuntabel".
Meski telah didesak oleh Komjak, nyatanya Kejagung bergeming dan malah menyebut akan melibatkan KPK, bukan menyerahkan kepada KPK. Aneh bin ajaib. Ada apa di balik ini semua? Bukankah semakin menambah benderangnya persoalan bahwa memang Kejangung juga sedang ikut "bermain" dengan kasus Pinangki ini?
Sejatinya, atas saran Komjen, KPK menyatakan tengah menunggu inisiatif Kejagung untuk menyerahkan kasus Jaksa Pinangki, sebab penanganannya seharusnya sesuai kewenangan KPK sebagaimana ditentukan dalam pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019.
Sayangnya, entah apa sebabnya pula, kok KPK juga malah lebih berharap pada inisiasi Kejakgung  apa mau menyerahkan penanganan perkaranya kepada KPK, seperti diungkap Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango kepada wartawan, Kamis (27/8/2020).
Anehnya, Nawawi sendiri menyebut kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara memang idealnya ditangani oleh KPK. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, karena memang perkara-perkara dengan tipologi seperti itu menjadi domain kewenangan KPK, termasuk perkara yang melibatkan penyelenggara negara.
Atas sikap KPK dan Kejakgung, publik memang jadi dapat menebak, bahwa kasus Pinangki ini memang sedang ada dalam "pengaturan" pihak tertentu yang kemungkinan demi menyelamatkan pihak-pihak yang terlibat.
Dengan sikap Kejagung yang ngotot mengambil alih penanganan dan sikap KPK yang menunggu inisiatif Kejakgung menyerahkan penanganan kepada KPK, menjadikan semangat publik yang menunggu benderangnya siapa saja okum-oknum di balik Djoko Tjandra, menjadi memudar.
Percuma Djoko Tjandra tertangkap, percuma Pinangki terjerat, namun siapa-siapa saja yang turut terlibat akan tetap menjadi sandiwara di tangan Kejakung yang bisa jadi juga sudah setali tiga uang dengan KPK.
Selain itu, saya juga membaca ada keanehan lagi saat anggota Komisi III DPR F-Gerindra Habiburokhman yang juga bicara kepada wartawan, meminta Kejaksaan Agung diberi kesempatan menggarap kasus ini. Menurutnya tak perlu terbur-buru untuk mengoper kasus Jaksa Pinangki ke KPK.
Lha, kok anggota DPR malah bicara seperti itu? Ini jelas ada udang di balik batu. Lebih memilukan, kok bisa dengan entengnya anggota DPR ini menyebut jangan buru-buru dan meminta Kejakgung diberi kesempatan, pada sesuai UU, kasus macam ini seharusnya siapa yang menangani!
Seperti kasus Harun Masiku yang kini bak ditelan bumi, maka publik pun yakin bahwa kasus Djoko Tjandra dan Pinangki ini, sedang dibuatkan skenario dan penyutradaraan agar pihak-pihak yang terlebat di atas Pinangki selamat. Indikasi lainnya, Gedung Kejakgung pun sudah sempat terbakar/dibakar.
Rasanya, berharap kasus korupsi ditangani dengan benar di Indonesia masih sebatas ilusi, sebab justru para institusi dan petugas penegak hukum di Indonesia masih "seperti ini".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H