Bila menggumuli sastra, maka manusia akan cerdas, berkarakter, santun dan berbudi pekerti luhur.
(Supartono JW.01092020)
Setelah sekian lama saya menunggu, sebab tak ada gaung "bantuan signifikan" pemerintah terhadap para seniman dan budayawan di Indonesia akibat dampak corona, akhirnya melalui Butet Kartaredjasa, perasaan seniman dan budayawan Indonesia dapat terwakili atau lebih tepatnya "terlampiaskan".
Terlampiaskannya perasaan dan sikap seniman dan budayawan Indonesia ini berhasil disampaikan oleh Butet pada Sabtu, 29 Agustus 2020 di warung makan milikinya, Bu Ageng di Yogyakarta, langsung di hadapan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menyambangi warungnya.
Saya kutip dari Tempo.co, Minggu (30/8/2020), "Butet Kartaredjasa Sakit Hati Lihat Perlakuan Menteri Jokowi kepada Seniman". Wah inilah berita yang selama ini dinanti para seniman dan budayawan di negeri ini.
Sebagai pekerja seni yang beberapa kali sepanggung dalam pementasan dengan Butet, saya senang sekali, bila akhirnya Butet bersuara untuk kami-kami semua.
Apa yang diceritakan dan diungkapkan Butet sangat mendasar dan beralasan. Pasalnya, sejak hadirnya Covid-19, kehidupan seniman dan budayawan yang juga sangat terimbas terutama dalam masalah ekonomi tak menjadi perbincangan dan bahkan nampak luput dari perhatian pemerintah?
Sabtu petang itu, apa yang diungkapkan Butet dalam acara dialog dengan sejumlah seniman sekaligus pembagian bantuan masker oleh Mahfud itu, sejatinya Butet tak menyebut langsung siapa menteri yang membuatnya sakit hati itu.Â
Namun, Butet mengaku mendapatkan perlakuan tak mengenakkan saat diundang ke Istana Negara bertemu dengan Jokowi, pertengahan bulan lalu dan akhirnya sakit hati kepada menteri tersebut.
Setelah diurut dari kisah sakit hatinya itu, ternyata kejengkelannya ditujukan kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama.
Butet mengungkap,
"Yang membuat saya sedih itu, ketika setelah pertemuan itu saya tanya kepada menterinya, 'Apa kira-kira yang akan dilakukan untuk membantu seniman?'," ujar Butet menirukan pertanyaan yang dilontarkannya kala itu.
Ternyata jawaban Sang menteri, "Saya sudah mengumpulkan 40 ribu data seniman yang akan segera mendapatkan BLT (bantuan langsung tunai)."
Wishnutama pun mengatakan bahwa sumbangan untuk seniman itu sudah dialihkan ke Kementerian Sosial.Â
Bila jawaban sang menteri seperti itu, jelas Butet para seniman dan budayawan pun pasti sedih dan sakit hati. Menteri ini ternyata, maaf, Â masih jauh dari memahami siapa itu seniman dan budayawan, ya? Tapi kok bisa jadi menteri di bidang ini?
Padahal seniman dan budayawan seperti yang diungkap Butet adalah bukan sekadar masalah orang berprofesi seniman lantas menerima bantuan sosial, tetapi ini masalah sebuah profesi, yang membutuhkan kebanggaan, penghargaan.
Dengan sikap dan cara berpikir Wishnutama, jelas bahwa dia menganggap seniman dan budayawan layaknya pengangguran dan pengemis yang sedang meminta pertolongan, sehingga bantuan sosial untuk seniman dan budayawan hanya sekadar digelundungkan, bukan dikemas dalam program yang bermartabat dan tetap menghargai profesi seniman dan budayawan dan itu akan menunjukkan bahwa Negara hadir karena menghargai karya-karya seniman dan budayawan.
Wishnutama pun sejatinya mungkin tak paham bahwa seniman dan budayawan, seperti perupa atau sastrawan bukanlah orang-orang yang mengharuskan dan diharuskan wajahnya dikenal melalui layar televisi. Walau sebagian nama seniman dan itu sudah amat populer di kancah nasional dan internasional.
Menteri yang kompeten
Dalam kesempatan tersebut, akhirnya Mahfud pun bertanya apa yang dimaui seniman dan budayawan di tengah Covid-19 ini. Dan, Butet pun mengusulkan
agar kementerian menggarap program seperti pameran seni rupa secara virtual, untuk menonjolkan karya karya seniman dan dibeli negara melalui anggaran bantuan sosial yang dialokasikan.
Butet mengungkap,
"Jumlahnya karya itu mungkin sama dengan besaran bantuan yang digelontorkan, tidak mengganggu anggaran. Tapi itu jadi wujud pengakuan negara pada karya seniman itu," ujarnya.
Lalu untuk apa negara membeli karya-karya itu? Menurutnya banyak kantor-kantor pemerintahan pada dindingnya memerlukan sentuhan interior. Ini bisa diisi melalui karya seniman yang dibeli. Juga saat pindah ibukota yang baru, menurut Butet juga akan lebih menarik dengan interior lukisan itu.
Itulah maksud Butet, dengan program yang dikemas dengan benar, seniman dan budayawan yang memiliki karya, akan tetap bermartabat dan dihargai, bukan dikasih bansos menggelundung seperti sedang mengemis.Â
Atas pengaduan Butet, Mahfud pun berjanji berjanji akan meneruskan keluh kesah ini kepada menteri terkait, meski tak menampik bahwa birokrasi yang saat ini terbentuk di pemerintahan masih wajah birokrasi warisan Orde Baru. Namun, Mahfud juga mengakui Kemenparekraf punya dana besar untuk seniman dan budayawan, tapi dititipkan Kemensos. Kok bisa begitu?
Inilah pokok masalahnya, bila siapa yang duduk di pemerintahan namun tak memahami betul fungsi dan tugas jabatan yang diemban.
Bila Butet tak mengungkapkan masalah ini ke hadapan Mahmud, dan media tidak meliput, maka siapa yang akan tahu, bahwa menteri yang seharusnya menjadi panutan dan amanah terhadap seniman dan budayawan Indonesia yang selama ini sangat kuat membangun dan mengisi kemerdekaan Indonesia melalui jalur budaya dan sastra, ternyata begitu diabaikan oleh menterinya karena sang menteri tak cukup kompeten pemahamannya dalam hal penghargaan dan masalah martabat-martabatan.
Beruntungnya, Indonesia juga memiliki seorang Butet, seniman dan budayawan yang terus menjadi panutan bagi seniman dan budayawan lain di Indonesia, yang tak aji mumpung.
Meski selalu dekat dengan Istana dan Presiden, namun sebagai seniman dan budayawan tulen, Butet tetap menjadi Butet Kartaredjasa, yang terus menyuarakan keresahan di tengah ketidakadilan dan penderitaan rakyat baik dalam panggung sandiwara maupun dalam panggung dunia nyata.
Keluhan Butet yang menjadikan Mahfud memahami dunia seniman dan budayawan, juga wajib sampai kepada Presiden Jokowi. Presiden harus tahu bahwa menteri yang dipilihnya ternyata tak memahami betul dunia dan lingkup pekerjaannya.
Terlebih, pemerintah juga menggelontorkan anggaran untuk para influencer dan buzzer, namun khususnya untuk influencer yang di pilih oleh pemerintah dan terpublikasi di media massa, juga para pekerja seni yang sepak terjang dan kompetensinya sudah dapat diukur oleh seniman dan budayawan Indonesia.
Mengapa influencer tidak memilih para seniman dan budayawan Indonesia yang ternama saja dan membuat program yang bermartabat? Mungkin karena tujuan program untuk influencer ada maksud "terselubung" Â maka menggunakan jasa pekerja seni yang bisa "diatur".
Sekali lagi, bila Butet tak membongkar hal ini di hadapan Mahfud, yakin Jokowi tak akan tahu betapa para seniman dan budaywan Indonesia sejak hadirnya corona, cukup menderita karena perlakuan pemerintah yang tak memandang keberadaan seniman dan budayawan.
Harus dipahami bahwa "Bila menggumuli sastra, maka manusia akan cerdas, berkarakter, santun dan berbudi pekerti luhur". Seniman dan budayawan tentu ada di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H