Sejatinya, apa yang saya tulis ini adalah "suara" khususnya dari pengamat/praktisi/ pembina/pelatih/orang tua/Operator kompetisi Sepak Bola Swasta di akar rumput, pengurus Asprov, Askab, Askot, hingga mantan pemain sepak bola nasional. Bagi siapa saja yang pernah membicarakan hal ini dengan saya, hutang saya lunas, ya. (Supartono JW.28082020).
Pembina sepak bola akar rumput di Indonesia hanya peduli teknik dan fisik pemain, tak "melek baca" juga tak mau dipusingkan dengan hal-hal di luar persoalan teknik dan fisik sepak bola. Hanya berbekal mantan pemain (nasional, klub liga, klub-klub-an) plus sertifikat pelatih, atau hanya berbekal sertifikat pelatih dan bukan mantan pemain, ketika sudah berada di lapangan sepak bola, berdiri di hadapan para pemain/siswa, lagaknya sudah seperti "superstar sepak bola", yang merasa tahu segalanya. Lalu, menggenjot anak-anak/siswa/pemain dengan ilmu yang didapat maupun ilmu otodidak yang tak kuat filosofi dan teori.
Pembina/pelatih/orang tua ujung tombak
Lebih ironis, dalam grup-grup sepak bola, grup-grup kompetisi liga swasta sepak bola akar rumput, dan grup lainnya, sudah di dalam grup berisi campuran strata (ada pemilik Klub/SSB, ada manajerial klub/SSB, ada pelatih klub/SSB, ada orang tua pemain/siswa, dll) apa-apa yang disharing oleh admin grup maupun rekan dalam grup, juga sangat sering direspon dengan "dangkal".
Para "anggota" grup sepak bola, hanya melihat judul (artikel/video) dan lainnya, tanpa mau membuka, membaca, apalagi menonton. Padahal itu semua adalah vitamin alias ilmu gratis yang dapat menjadi asupan bagi semua yang ada dalam sektor pembinaan, pelatihan, hingga kompetisi klub/SSB.
Namun, sebab sudah terpaku dengan pola pikir dan paradigma klasik kultur sepak bola Indonesia, orang-orang dalam grup maupun di luar grup sepak bola, tidak pernah berpikir bahwa sepak bola adalah taktik, intrik, dan politik. Lebih miris, "mereka" ini adalah ujung tombak di lapangan yang secara langsung berhadapan dengan para pemain dan siswa.
Bagaimana pemain dan siswa pesepak bola usia dini dan muda akan terus meningkat teknik dan fisiknya, bila wawasan kehidupan yang berakar dari kecerdasan intelegensi dan personaliti (emosi) tak disentuh dan tak diasah oleh pembina/pelatih/orang tua mereka. Terus dijauhkan dari pembiasaan untuk meningkatkan kecerdasan otak dan emosi. Sebab, para pembina dan pelatihnya juga tak cukup ilmu dalam bidang ini.
Bagaiamana mau dapat ilmu dan wawasan, dapat sharing ilmu gratis di dalam sebuah grup wa saja hanya dilihat judulnya. Terbirit bila ada yang share "ilmu/wawasan" di luar sepak bola, apalagi bila menyoal politik. Sangat tak paham bahwa selama ini, induk organisasi sepak bola nasional kita adalah gudangnya politik. PSSI hanya jadi kendaraan politik terselubung para elite partai dan partai politik, demi menggerus "suara" untuk kursi jabatan politik yang diincar melalui pengurus yang ada di dalamnya.
Pahami, sepak bola adalah massa. Massa adalah suara untuk menggaransi dapat duduk di suatu "kursi". Pahami itu.
Andai saja, setiap pembina/pelatih/orang tua yang ada di grup wa dan di luar grup wa selalu menyantap berbagai informasi yang bukan hanya bertopik sepak bola yang diotaknya hanya fisik dan teknik, betapa bahagianya anak-anak usia dini dan muda pesepak bola Indonesia, sebab yang membina dan membimbing mereka adalah para figur dan panutan yang dapat memberikan asupan vitamin kecerdasan (TIPS) Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed (fisik) sepak bola secara komprehensif, bukan simultan. Sehingga, akan terbentuk dasar pemain sepak bola Indonesia yang bukan hanya berguna bagi sepak bola nasional, pun berguna menjadi rakyat Indonesia yang dapat turun membangun Indonesia, lepas dari penjajahan "anak bangsa sendiri" tidak hanya dari ranah sepak bola. Lahir pula pemain/siswa yang berkarakter, santun, dan berbudi pekerti luhur.
Sebab, timnas di semua kelompok umur hanya menampung 23 pemain timnas dalam setiap event, maka ratusan juta pesepak bola Indonesia yang tak tertampung dalam timnas, tentu akan dapat dikaryakan di lahan sepak bola lain baik di klub, kantor, dan terutama saat mereka kembali ke masyarakat. Semua ilmunya akan berguna bila ditularkan kepada masyarakat umum.Â
Karenanya, bila sepak bola menjadi wadah positif yang paling diminati oleh anak-anak Indonesia, akan menjadi sangat strategis bila para pembina/pelatih/orang tua yang berkecimpung dalam pembinaan sepak bola akar rumput, adalah orang-orang yang lengkap ilmu dan pengalamannya.
Bukan orang-orang yang sekadar sok tahu, merasa tahu, dan punya uang lalu ikut-ikutan terjun dalam pembinaan dan pelatihan sepak bola akar rumput maupun klub. Selama ini, di Indonesia sudah terjadi salah kaprah yang luar biasa dalam kontek pembinaan sepak bola di sektor ini.
Terlebih, PSSI hingga usianya yang menjelang satu abad pun, tak pernah mampu menyentuk sektor pondasi sepak bola nasional, sektor akar rumput dengan benar. Benar regulasinya, benar afiliasinya, benar manajemennya, benar pembinaannya, benar kompetisinya. Namun, kenyataannya hingga kini, semua masih terus dalam wacana dan utopia, mimpi. Padahal, bila PSSI mau, lahir Kurikulum yang benar dulu, maka akan lahir hal-hal yang benar lainnya di ranah kawah candradimukanya sepak bola nasional.
Hingga kini, publik pun paham, mengapa PSSI tak pernah serius sektor ini, namun buat apa saya ulang-ulang membahas ini.
Sepak bola bukan teknik dan fisik saja
Yang pasti, atas masukan teman-teman pengamat/praktisi/pembina/pelatih/orang tua/Operator kompetisi Sepak Bola Swasta di akar rumput, pengurus Asprov, Askab, Askot, hingga mantan pemain sepak bola nasional, akhirnya artikel ini saya tulis, terutama untuk menggedor hati dan pikiran para pembina, pelatih, dan orang tua yang berkecimpung di sepak bola akar rumput wajib ke luar dari zona nyaman paradigma selama ini, dan khususnya menggedor mata dan hati PSSI.
Sepak bola itu bukan teknik dan fisik plus bakat saja. Untuk mengasah teknik saja ada ilmunya, ada cara dan tekniknya. Untu mengasah fisik apalagi, harus berdasarkan ilmu dan teori, bukan sembarangan dan otodidak.
Untuk mengasah otak dan emosi, ada ilmunya, ada teorinya. Dan, untuk mentransfer ilmu kecerdasan otak dan emosi, juga tidak sembarang orang dapat melakukannya.
Semua aspek itu adalah pondasi yang wajib menancap kuat pada pemain/siswa pesepak bola akar rumput. Semua itu, perlu wawasan dan kemampuan taktik, intrik, dan politik. Bukan kemampuan "sok tahu" dan baca/nonton sebuah ilmu/wawasan hanya menyimak judul.
Dari kebiasaan membaca/menonton secara tuntas akan membantu para pembina/pelatih/oramg tua akan paham tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, bagaimana memecahkan masalah, sasaran masalah, Â yang diselesaikan secara logis dan ilmiah. Sebab, sepak bola modern sudah di situ analisisnya. Terlebih, saat para pemain/siswa sudah masuk ranah kompetisi, terekrut dalam sebuah tim (klub/timnas), maka semua akan berangkat dari data dan data. Bukan karena bisikan atau titipan dan permainan uang.
Lebih dari itu, untuk ukuran Indonesia, saya katakan, wawasan dan materi keilmuan dalam kursus pelatih sepak bola, tak cukup untuk menjadi pembina dan pelatih sepak bola akar rumput. Masih banyak materi yang seharusnya ada di dalamnya, instruktur pelatihnya pun juga harus lintas keilmuan, bukan terbatas dari orang yang dianggap "tahu" sepak bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H