Bila kini sejumlah pihak melakukan penolakan atas keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, bagi saya lucu.
Lucu sekali, sebab seharusnya baik Nadiem maupun sejumlah pihak sudah tidak perlu ada penolakan karena memang sudah cerdas dan memahami kondisi dan situasi. Ini dunia pendidikan, lho? Â
Masa harus mengulang-ulang hal yang seharusnya tidak terjadi dan mengulang peristiwa seperti di negara lain yang sudah memberikan contoh nyata! Sungguh miris dan menyedihkan, dunia pendidikan saja jadi seperti lahan main-main, bagaimana di sektor lain?
Sudah diberikan gambaran. Sudah ada contohnya. Sudah ada pengingatannya. Kurang apalagi? Tetapi, nyatanya dunia pendidikan di Indonesia tetap bandel dan memaksakan diri.
Di tengah pandemi Covid-19 yang terus menggelora, ternyata tetap ada daerah dan sekolah yang "ngeyel" menyelenggarakan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan tatap muka, hanya berbekal pedoman daerahnya sudah zona hijau, pun dizinkan oleh pemerintah, Kemendikbud dan Gugus Tugas Covid-19 Indonesia. Lalu, juga ada yang menurut kepada orang tua yang menginginkan sekolah dibuka tatap muka.
Tidak belajar, sudah ada contoh!
Apa kejadian di Finlandia, Prancis, Inggris, Korea Selatan, dikira khayalan, ilusi? Itu nyata. Tetapi orang-orang yang mengaku cerdas di Indonesia, tetap saja mengabaikan ganasnya virus corona.
Setelah beberapa waktu lalu dalam tayangan Sapa Indonesia Pagi Kompas TV terungkap sudah ada klaster baru penyebaran corona dari hasil pembelajaran tatap muka, yang saat itu diungkap oleh nara sumber dari Komisi X DPR RI dan KPAI, mengapa masih ada daerah dan sekolah yang "maksain" membuka sekolah tatap muka?
Kini, atas "ngeyel-nya", beberapa daerah dan sekolah, pun menuai masalah yang sudah terbaca. Bermuculan klaster penyebaran virus corona dari hasil belajar tatap muka, bahkan juga terjadi di kampus. Siapa yang "bodoh?"
Haruskah siswa, mahasisa, guru, dosen dll, terus akan dikorbankan tertular virus Corona, karena sekolah/kampus berada di wilayah zona hijau dan kuning dengan taruhan nyawa? Kok seperti tidak "mikir."
Dalam program Rosi, 13 Agustus 2020 di Kompas TV, juga kembali terungkap, di Kalimantan Barat, pemda setempat melaporkan 14 siswa dan 8 guru, positif tertular Corona.Bahkan penularan ini terjadi di enam SMA, di Pontianak, Ketapang dan Ngabang.Â
Bahkan kasus ini pun dibenarkan oleh Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji bahwa kasus baru di wilayahnya, berasal siswa, guru, mahasiswa hingga tenaga kesehatan.
Begitu pun, sebelas guru positif tertular corona, juga terjadi di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dan terus menyusul kasus-kasus lainnya dan terus muncul klaster baru dari dunia pendidikan.
Malah di program Rosi, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menegaskan , tidak ada pemaksaan pembukaan sekolah secara tatap muka.
Syarat kewenangan pembukaan sekolah, berada di tangan pemerintah daerah. Inilah yang terus menjadi blunder. Pemerintah pusat yang seharusnya tegas, apa-apa sekarang alasannya kewenangan berada di pemerintah daerah. Kebijakan "cuci tangan" namannya!
Bukannya segera menyetop pembukaan sekolah tatap muka malah terus lempar-lempar masalah.
Padahal sesuai data Ikatan Dokter Anak Indonesia, KPAI mencatat kasus kematian anak terpapar Corona di Indonesia, tertinggi se-Asia Pasifik. Dan harus dicermati dengan cerdas, meski harapan kesembuhan Covid-19 cukup tinggi, namun banyak pakar menyebut virus corona berdampak kerusakan permanen pada organ paru pasien.
Penolakan diperhatikan!
Atas kebijakan dan sikap konyol Nadiem dan pemerintah ini, suara penolakan terus menggelora, padahal seharusnya hal semacam ini sudah tidak perlu terjadi.Â
Lucu, sejumlah pihak dan pegiat pendidikan menolak keputusan Nadiem membuka kembali kegiatan belajar mengajar di sekolah di tengah masa pandemi Covid-19 karena keputusan tersebut dinilai tak memiliki dasar yang tepat.
Saya kutip dari CNNIndonesia.com, Senin (17/8/2020), ada pernyataan:
"Kami meminta Nadiem untuk membatalkan keputusan membuat kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di sekolah dalam rangka memberi perlindungan penuh pada hak kesehatan siswa dan tenaga pendidikan lainnya," ujar Inisiator Koalisi Warga Lapor Covid-19, Irma Hidayana, dalam konferensi pers virtual.
Bahkan pernyataan sikap penolakan pembukaan sekolah di tengah pandemi ini ditandatangani oleh sejumlah lembaga seperti Federasi Guru Independen Indonesian, Federasi Serikat Guru Indonesia, Koalisi Guru Banten, LaporCovid19, YLBHI, Lokataru, Hakasasi.id, Transparansi Internasional Indonesia, serta Visi Integritas.
Inilah lucunya Indonesia, sudah ada contoh kasusnya, tapi tetap saja mau jatuh di lobang yang sama. Memaksakan tahun ajaran 2020/2021 di buka 13 Juli 2020. Lalu, memberikan kebijakan pembukaan sekolah tatap muka. Konyol.
Sudah tahu corona sangat ganas, nekad buka tahun ajaran baru. Sudah ada contoh PJJ saat semester dua tahun ajaran 2019/2020 yang carut-marut, lalu membuka tahun ajaran baru 2020/2021 tetap dengan PJJ yang Kurikulum Daruratnya "kelaut" hadir sangat terlambat. Saat hadir malah bukan wujud Kurikulum Darurat yang satu, namun malah Kurikulum Opsi. Di mana logikanya?
Kemudian PJJ terus menuai masalah, berbagai pihak dan orang tua menuntut sekolah dibuka tatap muka, juga ada yang menurut. Luar biasa Indonesia ini, dari atas sampai bawah, tidak ada yang dapat jadi panutan dan contoh.
Masa, PJJ yang carut-marut bahkan cenderung gagal harus ditukar dengan tatap muka dengan nyawa taruhanannya?
Mas Nadiem, saya tanya, ya? Sebenarnya semua kebijakan Kemendikbud ini ide siapa? Harusnya semua kebijakan pendidikan itu memayungi Indonesia secara utuh. Dasarnya sudah terukur bahwa Indonesia berbeda dengan negara lain. Indonesia yang Bhineka dan masih sangat kental dengan jurang perbedaan di setiap daerah secara menganga, seharusnya hanya lahir kebijakan sekolah PJJ dan Kurikulum Darurat. Titik.
Persoalan PJJ yang bermasalah dan terus menjadi benang kusut, itu yang terus dicarikan solusi dan penanganan. Kemudian, Kurikulum Darurat hanya ada satu, dengan standar yang paling minimal yang dapat diaplikasikan di daerah Indonesia yang paling tertinggal, dapat dicerna orang tua di rumah. Tidak ada kasih wewenang ke daerah. Satu paket kebijakan dari Kemendikbud untuk Indonesia.Â
Menyoal sekolah dan daerah yang akan menambah sendiri kekayaan dan inovasi PJJ maupun kurikulumnya, silakan menyesuaikan dengan kondisi sekolah, orang tua dan siswanya.
Jadi, harus tegas. Sekolah PJJ, Kurkulum Darurat hanya satu opsi. Itu yang wajib terjadi di Indonesia sekarang, Mas Nadiem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H