Inilah lucunya Indonesia, sudah ada contoh kasusnya, tapi tetap saja mau jatuh di lobang yang sama. Memaksakan tahun ajaran 2020/2021 di buka 13 Juli 2020. Lalu, memberikan kebijakan pembukaan sekolah tatap muka. Konyol.
Sudah tahu corona sangat ganas, nekad buka tahun ajaran baru. Sudah ada contoh PJJ saat semester dua tahun ajaran 2019/2020 yang carut-marut, lalu membuka tahun ajaran baru 2020/2021 tetap dengan PJJ yang Kurikulum Daruratnya "kelaut" hadir sangat terlambat. Saat hadir malah bukan wujud Kurikulum Darurat yang satu, namun malah Kurikulum Opsi. Di mana logikanya?
Kemudian PJJ terus menuai masalah, berbagai pihak dan orang tua menuntut sekolah dibuka tatap muka, juga ada yang menurut. Luar biasa Indonesia ini, dari atas sampai bawah, tidak ada yang dapat jadi panutan dan contoh.
Masa, PJJ yang carut-marut bahkan cenderung gagal harus ditukar dengan tatap muka dengan nyawa taruhanannya?
Mas Nadiem, saya tanya, ya? Sebenarnya semua kebijakan Kemendikbud ini ide siapa? Harusnya semua kebijakan pendidikan itu memayungi Indonesia secara utuh. Dasarnya sudah terukur bahwa Indonesia berbeda dengan negara lain. Indonesia yang Bhineka dan masih sangat kental dengan jurang perbedaan di setiap daerah secara menganga, seharusnya hanya lahir kebijakan sekolah PJJ dan Kurikulum Darurat. Titik.
Persoalan PJJ yang bermasalah dan terus menjadi benang kusut, itu yang terus dicarikan solusi dan penanganan. Kemudian, Kurikulum Darurat hanya ada satu, dengan standar yang paling minimal yang dapat diaplikasikan di daerah Indonesia yang paling tertinggal, dapat dicerna orang tua di rumah. Tidak ada kasih wewenang ke daerah. Satu paket kebijakan dari Kemendikbud untuk Indonesia.Â
Menyoal sekolah dan daerah yang akan menambah sendiri kekayaan dan inovasi PJJ maupun kurikulumnya, silakan menyesuaikan dengan kondisi sekolah, orang tua dan siswanya.
Jadi, harus tegas. Sekolah PJJ, Kurkulum Darurat hanya satu opsi. Itu yang wajib terjadi di Indonesia sekarang, Mas Nadiem.