Bangku sekolah SD, SMP, dan SMA sederajat bahkan bangku kuliah, adalah kawah candradimuka lahirnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas, berkarakter, dan tangguh untuk perjuangan Indonesia, tapi di tempat itu, para siswa hingga mahasiswa tidak terbentuk karakternya khusus dalam keterampilan berbahasa paling vital, yaitu mendengar.
Bagaiamana mau bicara dan menulis dengan benar, baik, dan berkualitas, bila pondasi mendengar lalu membacanya saja terus terabaikan dan dibiarkan oleh para guru.
Bahkan generasi sekarang sudah banyak yang menyebut sebagai generasi pembaca judul saja. Banyak sekali berita di media massa dan media online yang dapat menambah wawasan dan keilmuan, anak-anak zaman sekarang malas membaca isinya. Parahnya lagi, baru membaca judulnya sudah sok tahu dan merasa mengerti isinya.
Inilah bila selama ini cara berkomunikasi di dalam kelas antara guru dan siswa tak ada perbaikan dan penanganan serius. Saat guru berbicara, dalam komunikasi satu arah, maka guru adalah pemegang kendali. Guru wajib mampu mengendalikan situasi agar suasana kondusif, tidak ada siswa yang mengganggu kondisi siswa lain yang mau belajar sungguh-sungguh. Ada berbagai cara untuk menjinakkan siswa yang "mengganggu" dan itu semua harus tuntas di dalam kelas.
Tapi saat sikap siswa dibiarkan menjadi pendengar yang tidak baik, yang fatal, sikap itu terus terbawa dalam kehidupan nyata.
Kita lihat saat ada siaran para narasumber di layar kaca dengan status diskusi, yang artinya bukan bicara satu arah, ada moderatornya yang mengatur waktu dan kesempatan bicara. Tetap saja ada narasumber yang tak lulus ilmu keterampilan berbahasa dan etika. Tak dapat menjadi pendengar yang baik, menyelak, bahkan menampilkan mimik meremehkan saat nara sumber lain  berbicara.
Bahkan dalam tajuk siaran dua arah di layar kaca juga, meski ada moderator, tetap saja nara sumber tak lulus etika dan menjadi pendengar yang baik, pun bicaranya tak santun, kasar.
Bila kita lihat dalam grup media sosial semacam wa misalnya, saat ada anggota grup sedang membicarakan topik apa, tiba-tiba ada anggota lain yang bicara topik lain dan diiringi oleh anggota lainnya sehingga saat bersamaan dalam sebuah grup sedang membicarakan beberapa topik.
Lebih parah, banyak netizen pengguna medsos yang tak memiliki etika ketika berkomunikasi dua arah. Menyedihkannya lagi, ada kejadian, seseorang.chating ke seseorang. Saat orang yang di chat membalas, tiba-tiba orang yang chat duluan sudah meninggalkan obrolan. Selain itu, banyak pula obrolan yang diawali dengan salam pembukaan, namun tiba-tiba berakhir tanpa ada penutupan.
Intinya, dari kenyataan-kenyataan tersebut, selama ini SDM kita memang belum banyak yang lulus menjadi pendengar dan pembicara yang  baik karena kawah pendadaran di tingkat dasar SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi gagal membentuk karakter tersebut.
Dalam kasus pandemi Corona, Presiden Jokowi saja sampai harus marah dua kali karena para menterinya tak memiliki sense of crisis, dan saat para menteri dan staf khusus Presiden bicara di depan publik, komunikasinya pun sangat tak terkelola. Ada pernyataan Menteri yang dibantah Staf, ada yang diluruskan Menteri lain dsb.