Sementara pada Pemilu 2014 terdapat 51 kasus dan Pemilu 2009 ada 27 kasus.
Karena itu, dinasti politik yang kini menjadi politik dinasti, benar-benar menjadi ancaman bagi demokrasi, sebab dalam praktiknya, membelokkan angan-angan demokrasi dan malah menciptakan oligarki, nepotitisme, menjauhkan meritokrasi, dan rentan melahirkan perkara rasuah.
Parahnya lagi, di bawah kepemimpinan Jokowi praktik ini makin subur di Indonesia, bahkan Presiden pun ikut terlibat.Â
Masih menurut kompas.com, berdasarkan hasil survei Nagara Institue, dari 541 wilayah meliputi provinsi dan kabupaten/kota yang menggelar pilkada sepanjang tiga periode terakhir (2015, 2016, 2017), sebanyak 80 wilayah atau 14,78 persen terpapar dinasti politik (kepala daerah terpilih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik). Banten menempati urutan pertama provinsi yang paling banyak terpapar (55,56 persen).
Politik dinasti selalu berlindung di balik alasan konstitusional hak politik warga negara. Sementara, sistem politik dan kepemiluan yang ada belum mampu menangkalnya.
Atas persoalan tersebut, ironisnya, justru Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2015 menghapus pasal antipolitik dinasti pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan syarat calon kepala daerah tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
Pertanyaannya, siapa yang membuat MK menghapus pasal tersebut? Seperti sudah saya ungkap di atas, pasti di baliknya jelas ada yang "mengatur dan diatur". Dan catat, MK menghapus saat 2015. Saat itu siapa pemimpin negeri ini? Partai mana dan para pendukungnya yang berkuasa?
Maka, saat pasal dihapus oleh MK, maka kran dinasti politik pun langsung moncer, karena memang tujuan penghapusan pasal jelas terbaca arahnya.Â
Bila dinasti politik akhirnya meningkat di 2019 dan pada 2020 bahkan anak pemimpin negeri ini ikut ambil bagian, barangkali inilah benang merah dari MK menghapus pasal antipolitik.
Bagi warganet dan masyarakat Indonesia, silakan buka berbagai berita di media massa, selain informasi yang sudah saya ulas tersebut, sejatinya pejabat dan partai mana saja yang gemar bermain dinasti politik dan menanggalkan urat malu dan etika di Indonesia demi melanggengkan kekuasaan? Sungguh, memiriskan hati akan fakta dan kenyataannya. Namun, mau bilang apa lagi. Anak pemimpin negeri juga sudah dilibatkan.
Karena pasal antipolitik dihapus MK pada 2015, maka pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Ujang Komarudin saat On Air di Radio PRFM 107.5 News Channel, Sabtu 25 Juli 2020, mengatakan bahwa di luar negeri praktik dinasti politik dilengkapi dengan calon yang memiliki kapasitas, kemampuan, prestasi, dan pengalaman sehingga ketika menggantikan kepemimpinan keluarganya, daerah yang dipimpinnya bisa maju.
Tapi kalau di Indonesia, lanjut dia, politik dinasti cenderung dipaksakan. "Saya kasih contoh Gibran, dia tidak punya pengalaman dalam politik, dalam pemerintahan, organisasi, dia tidak pernah menjadi pengurus partai politik. Lalu dipaksakan maju Pilkada, ini sangat prihatin," katanya.