Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bagaimana Membuat Rakyat Percaya, Bukan Mengganti Gugus Tugas dengan Istilah Lain

23 Juli 2020   09:05 Diperbarui: 23 Juli 2020   08:54 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden sampai harus repot-repot membubarkan Gugus Tugas dan mengganti Komite yang meski ditambah adanya divisi pemulihan ekonomi, kan tanpa hal tersebut juga sudah ada wewenang sesuai tugas para menterinya. Ini kok Perpres jadi seperti mengada-ada saja?  Kan tugasnya sama, sementara rakyat semakin tidak percaya.

Penanganan Covid-19 di Indonesia, sejak virus ini menyambangi nusantara memang dianggap aneh oleh berbagai pihak dan rakyat. Mengapa dirasa aneh? Sebab, sejak virus hadir di NKRI, penanganan pencegahan dari pemerintah memang sudah disebut compang-camping, terutama meski virus corona memang ada.

Namun rekayasa data yang dilaporkan hingga banyaknya "pihak" yang menjadikan Covid-19 sebagai "kendaraan" mencari keuntungan, sangat terbaca oleh masyarakat.

Oleh sebab itu, semakin tinggi kasus corona yang dilaporkan oleh Gugus Tugas Covid-19, hingga data kasusnya kini melampau negeri produsen asli virus corona, China, ketidakpercayaan masyarakat atas laporan data dari pemerintah yang sudah dicap rekayasa dan keberadaan corona, benar-benar semakin tinggi.

Jadi, bila selama ini masyarakat dibilang abai, antipati, skeptis terhadap pemerintah pun, logis adanya. Sehingga, tak perlu ada istilah PSBB, masa transisi, masa new normal/normal baru, maka kehidupan masyarakat Indonesia malah sudah biasa dan normal-normal saja, karena satu kata kunci, rakyat sudah tak percaya pemerintah.

Mau dibuat model apa pun cara penanganannya, rakyat kini tetap sudah abai dan tak peduli, meski pemerintah melaporkan data kasus terus meningkat, hingga adanya peraturan istilah baru tentang corona, rakyat tetap cuek dan tak peduli, karena tak ada urgensinya.

Bahkan, tidak ada lembaga survei yang mencoba mensurvei, berapa persen rakyat Indonesia yang setiap hari mengikuti siaran langsung dari televisi saat dilaporkan perkembangan kasus corona.

Coba, ada yang membayar lembaga survei, pasti akan diketahui bahwa selama ini, siaran langsung lapaoran data corona itu, mubazir, karena rakyat tak menonton karena tak peduli.

Kabarnya, malah, lembaga survei asyik mensurvei elektabilitas calon-calon pemimpin daerah dan calon presiden, karena ada yang "mendanai" untuk menggiring opini rakyat Indonesia yang sebagian besar belum mengenyam pendidikan. Apa artinya? Bisa ditebak, inilah skenario politik "mereka" demi memperoleh simpati dan perhatian dari rakyat. Benar-benar sandiwara usang.

Kembali kemasalah corona yang ditangani dengan compang-camping dan dijadikan kendaraan kepentingan dan keuntungan, rakyat pun jadi bingung dan tertegun atas keanehan-keanehan yang terus dipanggungkan oleh pemerintah.

Coba, di saat mereka melaporkan kasus terus meninggi, dan bila data itu benar, maka Indonesia akan menjadi episentrum baru penyebaran corona bagi dunia, sementara rakyat sudah menutup mata dan hati dari sikap pemerintah ini, Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memastikan tak akan lagi mengumumkan data harian perkembangan kasus Covid-19, seperti yang sudah dilakukan dalam 4 bulan terakhir. Lho, ini bagaimana coba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun