Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah RUU HIP yang Ditunda, Bukan Dicabut

17 Juni 2020   10:23 Diperbarui: 17 Juni 2020   10:19 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karenanya,  selain banyak ditentang ormas Islam, banyak akademisi mengkritisi rancangan peraturan tersebut terutama terkait hal-hal substantif.

Mengutip pernyataan pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti dalam sebuah seminar daring pada 8 Juni 2020, mengatakan RUU HIP banyak mengandung pasal-pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement.

"Norma hukum biasanya mengatur perilaku dan juga kelembagaan. Di dalam UU, ada pasal 'siapa melakukan apa' dan bukan pernyataan-pernyataan. Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal mengatur perilaku. Ini tidak lazim.

Apalagi, RUU ini juga tidak mendesak. "Pancasila tentu amat sangat penting, tapi masalah riil yang kita hadapi adalah pandemi COVID-19."

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar yang mempermasalahkan isi RUU HIP. Sebab, banyak pasal yang isinya multitafsir dan akhirnya mubazir. "Misalnya pasal tujuh yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato Sukarno dijadikan bunyi pasal?" ujarnya.

Bukan hanya menyoal RUU HIP, malahan Zainal juga menyoroti bagian pendirian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menurutnya sama seperti Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) di era Soeharto.

Sementara, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, menyatakan bahwa RUU HIP tak mendesak sama sekali. "Ini berpotensi mengendalikan hak kebebasan berekspresi. Persis seperti Orba. Karena terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila," ujarnya kepada awak media.

Ayolah, DPR itu wakil rakyat, bekerja untuk membuat rakyat sejatera, bukan bekerja untuk diri sendiri dan kepentingan partai dan koalisinya. Negeri ini juga milik rakyat. Bukan milik partai, milik DPR yang "dikuasai", dan juga milik pemerintah.

Ingat,  semuanya dapat duduk di kursi parlemen dan pemerintahan karena suara dari rakyat. Jangan, membuat rakyat semakin skeptis dan antipati kepada Anda-Anda.

Oleh karena itu, wahai rakyat, ingat-ingat dan pikir-pikir lagi kalau pada saatnya nanti harus menggunakan hak suaranya dalam Pilkada maupun Pemilu. Ingat-ingat, apakah yang kini Anda-Anda pilih berpihak kepada rakyat? Berpihak kepada siapakah "mereka?"

Masa, RUU HIP yang tidak mendesak saja dibuat jadi pekerjaan yang menghabiskan "energi" dan tak penting pula untuk rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun