Rasanya, tega sekali ya, kok mereka sampai lupa/tak ingat HUT saya. Padahal selama ini, saya juga selalu ingat HUT setiap dari mereka. Namun, selain sedih, kondisi ini malah menjadikan diri kita tak terbebani harus mentraktir mereka, dan kita tidak harus berteriak, hey! Hari ini aku HUT, lho! Sebab, budaya HUT yang membikin kita jadi tertekan, malah membuat kita jadi nyaman bila tanggal HUT kita tidak diingat oleh "mereka".Â
Bahkan, sejak hadirnya medsos, kini bila seseorang merayakan HUT, biasanya sebelum ada tuntutan untuk adanya perayaan dan traktiran, maka bila salah satu anggota grup yang kebetulan ingat tanggal HUT seseorang, akan menjadi pemula dalam ucapan HUT.Â
Berikutnya, anggota grup yang lain, akan langsung ikutan mengucapkan selamat HUT disertai dengan doa.
Namun, tahukah kalian? Apakah kalian yakin, bahwa semua anggota grup benar-benar ingat tanggal HUT kita dan benar-benar tulus ucapan HUTnya untuk kita. Masih dapat meragukan untuk kita.Â
Tradisi HUT baru?
Di luar dari persoalan itu semua, rasanya memang perlu lahir tradisi baru, perayaan HUT di Indonesia seperti di Amerika, Eropa, dan Jepang, yaitu benar-benar membuat si peraya HUT bahagia, bukan tertekan, dibuat sulit, bawa perasaan (baper) karena tanggal HUT tak diingat/dilupakan.Â
Atau biasakan merayakan HUT seperti zaman nenek moyang kita, cukup dengan mendoakan agar si peraya HUT sehat, berkah, dan sukses untuk menjalani sisa hidupnya. Biasanya juga ada sekadar potong tumpeng yang mencerminkan budaya nenek moyang.Â
Seperti sekarang, saat wabah corona datang, perayaan HUT pun hanya berupa ucapan dan kiriman doa, tidak membuat si peraya HUT harus tertekan dan kerepotan.
Jadi hikmah ada corona, kembali mengingatkan bahwa HUT itu, terpenting adalah doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H