Dalam situasi pandemi corona, ada kebijakan PSBB dari pemerintah, lalu masyarakat diharuskan belajar, bekerja, beribadah di rumah. Bila ke luar rumah pun wajib menjaga jarak dan memakai masker, lalu dunia pendidikan kita, ada rencana melahirkan Kurikulum Darurat (KD)?Â
Padahal persoalan utama dunia pendidikan kita sekarang, baik siwas maupun guru menjadi sama-sama berstatus "pembelajar", yaitu sama-sama mempelajari model belajar secara online.Â
Bagaimana guru mampu memberikan pembelajaran jarak jauh kepada siswa, bila sebagian dari mereka juga gagap teknologi? Sebaliknya, tidak semua siswa, memiliki sarana belajar online yang sama, meski zaman sekarang siswa kebanyakan lebih "jago" dalam menguasai teknologi, terlebih untuk sekadar belajar online.Â
Hadirnya pandemi corona, adalah kesempatan baik untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kita, menyelami dan mendalami bagaimana fakta di lapangan tentang guru juga dosen akan profesionalitasnya dalam penguasaan teknologi.Â
Selama ini, menyangkut profesionalitas guru dan dosen menjadi topik utama mengapa pendidikan di Indonesia terus tertinggal, padahal dunia dalam keadaan normal, belum ada Covid 19.Â
Dapat dibayangkan, bagaimana kondisi sekarang saat siswa  harus menerima pembelajaran secara online. Kabar menyoal kesulitan belajar yang akar masalahnya karena profesional dan gapteknya guru, bukan barang baru, namun karena situasi pandemi, maka semakin kalah dengan laporan perkembangan kasus corona.Â
Padahal, banyak sekali keluhan dari murid menyoal program belajar yang akhirnya hanya mengarah sekadar siswa diberikan tumpukan tugas oleh guru, tak ada bedanya saat sebelum hadir kasus corona.Â
Kini adanya ide melahirkan KD yang diakui oleh Mendikbud Nadiem Makarim, meski KD masih dikaji kemungkinan untuk diterapkan, saat ini, Nadiem masih fokus pada kebijakan-kebijakan yang bisa langsung dirasakan masyarakat dengan cepat, karena membuat kurikulum baru akan mengganggu proses belajar online. Membuat kurikulum baru pun ujungnya harus ada pelatihan. "Itu sedang kami kaji. Tapi mengubah kurikulum itu tidak mudah. Sedangkan Covid-19 ini cepat. Jadi kita harus lakukan yang bisa dirasakan secepat mungkin," ujarnya melalui konferensi video, Rabu (15/4).Â
Karenanya, di antara kebijakan itu adalah, pihaknya memutuskan kebijakan yang bisa dirasakan masyarakat langsung, seperti membuat program Belajar dari Rumah melalui TVRI, termasuk melakukan evaluasi dan perbaikan program seperti memastikan program ramah disabilitas, karena saat ini program Belajar dari Rumah belum menyentuh siswa disabilitas.Â
Masalah lain, Nadiem mengakui belum memiliki solusi belajar dari rumah untuk masyarakat yang tak punya akses listrik. Tapi pihaknya terus menggodok ide yang bisa didorong.Â
Memang Nadiem sudah ada upaya, namun Nadiem juga wajib segera mengambil langkah dan solusi, sebab semakin banyaknya keluhan menyoal belajar online ini.Â
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan ada 213 keluhan siswa tentang belajar dari rumah. Kebanyakan mengeluh soal tugas menumpuk dari guru.
Sementara itu, survei yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menemukan 58 persen anak mengaku tidak senang menjalani program Belajar dari Rumah.Â
Masalah tugas menumpuk dan masalah tidak senang belajar di sekolah juga sudah menjadi budaya siswa sebelum corona. Nah, kini saat corona, tugas menumpuk dan tidak senang belajar di rumah, menjadi alasan lagi. Di mana sebenarnya akar masalah?Â
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza Azzahra menilai evaluasi belajar jarak jauh dan langkah konkret penanganannya harus dilakukan, sebab terbukti hanya menumpuk tugas siswa, siswa pun tak senang.Â
Terlebih pandemi corona juga masih belum dapat diprediksi kapan akan usai. Adanya keluhan siswa, jelas mengindikasikan guru/dosen belum memahami dengan baik konsep belajar jarak jauh. Pembelajaran daring pun tak bisa dilakukan merata di Indonesia karena keterbatasan infrastruktur dan akses teknologi.Â
Setali tiga uang dengan keluhan belajar online, keluhan belajar melalu program Belajar dari Rumah (BDR) di TVRI yang dimulai Senin (13/4) juga menuai masalah.Â
Di antara keluhanannya, beberapa siswa tak bisa mengikuti karena jaringan televisi yang buruk, dan ada juga yang terhalang tugas menumpuk. Dan, ada guru yang dengan enaknya hanya meminta siswa merangkum seluruh pelajaran dari TV yang juga harus ditonton setiap hari.Â
Keterbatas bahwa tidak semua siswa juga mempunyai gadget, harus menonton saluran TV, sementara komunikasi dengan guru kelas atau guru mata pelajaran atau wali kelas terkendala.Â
Ada yang kendalanya karena pulsa, ada yang komunikasi dengan guru tidak lancar karena guru menjawab pertanyaan siswa juga lambat menjawab atau malah tidak menjawab.Â
Pokoknya, banyak kejadian yang justru membuat siswa jadi malas untuk belajar dan mengerjakan tugas. Akibatnya, jangankan materi pelajaran dikuasai siswa, memahami teori dan praktiknya saja siswa kesulitan, karena guru banyak yang asal main suruh dan instruksi saja.Â
Dalam kondisi normal, banyak siswa di kelas yang bermasalah. Biasanya guru kelas/guru mata pelajaran hingga wali kelas, sering tenaga, waktu, dan pikirannya, tercurah untuk siswa tersebut.Â
Kini, bagaiamana mengatasi siswa bermasalah dengan belajar online dan instruksi? Siswa tak bermasalah pun ada yang kesulitan, apalagi siswa bermasalah Belum lagi adanya keterbatasan lainnya.Â
Bagaimana pula bila siswa belajar dari TV yang sifatnya "satu arah" dan waktu terbatas? Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, dilansir dari CNN Indonesia, Selasa (14/4/2020), menyebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang belajar dari TV yang memiliki kelemahan. Mengingat pelajaran hanya dijadwalkan 30 menit sekali untuk setiap jenjang. "Artinya dalam waktu 30 menit mungkin hanya satu mata pelajaran. Kalau mata pelajaran saja ada 13 misalnya di SMA. Artinya tidak semua bisa, itu kelemahannya," ujarnya.Â
Selain itu kegiatan belajar dengan TV juga tidak bisa berjalan dua arah. Siswa tidak bisa bertanya kepada sumber yang menjelaskan jika ada kebingungan. Untuk itu pembelajaran tidak bisa hanya diandalkan dari TV.Â
Atas berbagai rangkuman masalah belajar di rumah ini, kebijakan Nadiem yang memfokuskan untuk bertindak langsung sesuai kebutuhan pembelajaran yang kini terus berlangsung, maka persoalan keluhan siswa tentang tugas menumpuk, siswa tidak termotivasi belajar karena membosankan, dan pelayanan guru kelas/guru mata pelajaran dan wali kelas yang belum memberikan kenyamanan bagi siswa, wajib dievaluasi dan segera ada tindak lanjut.Â
Demikian pula dengan masalah belajar melalui TVRI, keterbatasan "kemampuan" masyarakat kita yang tidak merata di seluruh pelosok negeri, keterbatasan waktu, belajar satu arah, adalah persoalan tersendiri yang juga harus ada pemecahannya dalam situasi sekarang ini.Â
Belum ada yang dapat memprediksi kapan wabah corona akan berakhir, maka  evaluasi dan tindak lanjut dari berbagai masalah belajar di rumah ini benar-benar harus tepat dan cermat serta segera. Yang pasti, bila guru kelas/guru mata pelajaran dan wali kelas tidak sekadar membebani dengan tumpukan tugas, serta melayani semua siswanya dengan bijak dan memahami kesulitan siswa, maka siswa akan tetap nyaman belajar di rumah. Lebih dari itu, siswa akan memahami materi pelajaran baik dari segi teori maupun praktik, dan dapat mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan di rumah khususnya saat situasi corona, dan umumnya di tengah masyarakat, saat kelak corona berakhir. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H