Namun, atas kebesaran hati koordinator kegiatan dan anggota yang komit, ada rasa memiliki, ada militansi, maka hasil diskusi yang hanya sekadar laporan kegiatan grup dan sharing, pun tetap berjalan sesuai waktu dan acara yang telah ditentukan.Â
Hasilnya, anggota grup yang hadir memahami mengapa grup dapat bertahan hingga 22 tahun, dan berkomitmen semoga grup akan terus bertahan dan hidup.Â
Kembali menyoal sikap anggota grup yang tidak memiliki rasa memiliki, rasa tanggungjawab, rasa empati, dan simpati, anggota grup yang hadir, tak mempersoalkan.Â
Atas kisah ini, dapat memberikan petunjuk bahwa dalam grup yang ada dan sudah cukup kuat ini, ternyata tetap ada anggota yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak ada rasa tidak enak, tidak ada rasa bersalah dll.Â
Sebuah grup sosial, ujung harapan tertingginya adalah ada pada kerendahan hati. Hadir secara fisik saat grup membutuhkan, ibaratnya tidak dapat digantikan oleh berapa pun rupiah yang akan disumbangkan, namun keberadaan kita, itulah harga kita dihadapan anggota grup lain. Lebih luasnya di hadapan masyarakat umum.
Kisah yang terjadi dalam pertemuan grup olah raga pagi ini, tentu juga sangat lekat terjadi pada semua grup/perkumpulan lain, bahkan bukan hanya di Indonesia, tetapi terjadi juga pada setiap grup/perkumpulan  negara lain di dunia ini.Â
Yang pasti, manusia sebagai makhluk sosial, akan sangat terlihat wujud kesosialan kita, jati diri kita, empati dan simpati kita, tanggungjawab kita, Â justru pada saat kita bergabung dengan grup-grup/perkumpulan umum, bukan pada grup instansi atau lembaga formal.Â
Bila di instansi/lembaga formal, keanggotaan kita di dalamnya harus "terpaksa nurut", karena terikat secara pekerjaan/kontrak/lainnya, maka kehadiran dalam setiap kegiatan adalah wajib, sebab ada ikatan dan aturan.Â
Dari peristiwa ini, mari, sadarkan diri kita, bahwa di luar kegiatan/pekerjaan formal kita, lingkungan sosial yang lebih banyak mengayomi kita, adalah tolok ukur seberapa tinggi hakikat kita sebagai makhluk sosial saat kita dapat menjadi bagian lingkungan sosial yang dapat saling memberikan rasa nyaman, rasa aman, saling mendukung, dan saling menjunjung, terlebih menomorsatukan rasa kekeluargaan.
Inilah fenomena masyarakat kita, bila tak begitu menguntungkan bagi diri sendiri/keluarga/kolega/, maka untuk kepentingan orang lain, nanti dulu/tidak perlu.Â
Prek omongan orang, diri kita adalah kita, diri kamu adalah kamu. Tak ubahnya seperti sikap para cukong yang membiayai partai politik di negeri ini, dan otomatis menghidupi dan memberi kursi para elite partai di parlemen dan pemerinthan, namun untuk kepentingan dan keuntungan siapa? Untuk mereka sendiri, bukan untuk rakyat!