Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia Kompak Terpuruk di Peringkat Negara Inovatif dan Skor PISA

27 Februari 2020   11:31 Diperbarui: 27 Februari 2020   11:24 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat negara lain terus berlomba-lomba dalam hal inovasi, di tengah peradaban revolusi industri dan dunia digital, para pemimpin Indonesia yang utamanya berasal dari kalangan partai politik, justru terus sibuk dengan urusannya sendiri, urusan partai, dan urusan balas budi kepada siapa yang "memodali".

 Begitu menggebu dan seolah "membabi buta" menghalalkan segala cara demi peroleh "kursi", namun setelah berhasil dapat dukungan rakyat dan meraih "kursi", lupa diri dan hanya membela kepentingan "cukong" yang telah memberi jalan agar terus berjaya di Ibu Pertiwi. 

Tak jalankan amanah, bagi-bagi kursi kepada kolega, dan bancakan uang rakyat,  sementara tugas utama mensejahterakan rakyat dipinggirkan, yang penting "membalas" cukong terpenuhi. 

Tatkala kondisi negara kian terpuruk terutama dalam sektor yang sewajibnya menggaransi rakyat sejahtera, mereka tetap asyik dengan "dunianya". Malah terus melanggengkan trah anak keturunannya dalam dunia yang sama, hanya berpikir untuk keluarga dan koleganya dan tetap melupakan rakyat yang tetap miskin dan tertindas. 

Lucunya, saat Indonesia kembali dikategorikan negara berkembang, ada menteri yang kemudian meradang, dan maunya Indonesia dianggap negara maju. Apanya yang maju? Siapa yang maju? Kapan? 

Bukankah yang berkembang tetap para pemimpin dan partai politik yang "manut" pada cukong? Coba lihat, ada di posisi mana Indonesia dalam hal kreativitas dan inovasi yang membela kepentingan rakyat? Bukan membela kepentingan "pemberi modal" yang mengharapkan lahan bisnis mereka sendiri? 

Dalam Global Innovation Index (GII) edisi 2019, ternyata Indonesia tetap stagnan dan terpuruk di level 85 dari 129 negara, sama seperti tahun 2018. 

Bagaimana dengan tahun 2020 ini? Apa yang telah diperbuat pemerintah, hingga bila mengacu pada kinerja setahun lalu, tidak ada dampak perubahannya. Sementara Singapura saja tetap bertengger dalam kelompok 10 besar negara inovatif dunia. 

Coba tengok negara mana saja yang masuk dalam 20 besar GII tahun 2019. Ternyata negara paling inivatif di dunia adalah Swiss, kemudian Swedia, disusul oleh Amerika Serikat (AS), lalu Belanda dan Inggris (UK). Data tersebut berdasarkan laporan GII 2019, yang merupakan edisi ke-12, disusun oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), Cornell University, dan INSEAD diluncurkan hari Rabu (24/7/2019), di India. 

Inilah daftar 20 negara paling inovatif berdasarkan GII 2019: 1) Swiss, 2) Swedia, 3) Amerika Serikat, 4) Belanda, 5) Inggris Raya, 6) Finlandia, 7) Denmark, 8) Singapura, 9) Jerman, 10) Israel, 11) Korea, Republik, 12) Irlandia, 13) Hong Kong, 14) China, 15) Jepang, 16) Prancis, 17) Kanada, 18) Luxemburg, 19) Norwegia, dan 20) Islandia. 

Selain Singapura yang berada di 10 besar dunia, negara Asia Tenggara yang mengalami loncatan  adalah Filipina, dari peringkat 73 pada 2018 naik 19 anak tangga ke level 54. Sementara Vietnam di posisi 43, naik 3 tingkat dari tahun lalu. Thailand naik satu peringkat, dari posisi 44 menjadi 43 dan Malaysia meski stagnan, tetap berada diperingkat 35. 

Lantas. bagaimana GII menilai dan menentukan negara-negara inovatif tersebut? Ternyata penilaian peringkat berdasarkan 80 indikator, mulai dari parameter tradisional seperti investasi untuk penelitian dan pengembangan serta pendaftaran paten dan merek dagang secara internasional, hingga indikator yang lebih baru termasuk pembuatan aplikasi telepon seluler dan ekspor teknologi tinggi. 

Berdasarkan hasil penilaian GII ini, membuktikan bahwa inovasi di kawasan Asia terus berkembang, khususnya Asia Tenggara, kecuali Indonesia. 

GII juga menyatakan bahwa perencanaan inovasi yang baik oleh pemerintah sangat penting untuk mencapai keberhasilan. Oleh karena itu,  negara-negara yang memprioritaskan inovasi dalam kebijakan mereka telah melihat peningkatan peringkat yang signifikan," ungkap Direktur Jenderal WIPO Francis Gurry. 

Ke mana Indonesia? 

Penilaian GII menyoal inovasi, hingga tahun 2019, telah memasuki edisi ke-12, pada Juli 2020 mendatang, GII akan mengumumkan kembali peringkat negara paling inovatif di dunia edisi ke-13, pertayaannya, apakah Indonesia akan naik peringkat atau stagnan, atau lebih terpuruk dari level 85? 

Menjadi pertanyaan pula, ke mana saja selama ini pemerintah Indonesia menyoal prestasi inovasi yang ada penilaiannya oleh GII? Bila tahun 2019 adalah edisi penilaian ke-12, maka dapat dipastikan, sejak pemerintahan siapa Indonesia terpuruk, hingga kini dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi. 

Mustahil pemerintah tidak tahu ada program GII yang menilai tentang perkembangan inovasi negara-negara di dunia. Namun, mengapa dari sekitar 80 indikator penilaian, khusunya tahun 2018 ke tahun 2019 tidak ada upaya perbaikan dan level Indonesia stagnan 85. 

Lihat Singapura di level 8, lalu Malaysia di level 35, mengapa mereka jauh meninggalkan Indonesia? Di sektor pendidikan, guru dan dosen dituntut kreatif dan inovatif, murid dan mahasiswa pun demikian, namun.di sektor lain khususnya pemerintahan, kreativitas dan inovasi tetap melempem. 

Bukankah ini namanya jarkoni? Bisa mengajar/menyuruh, tetapi tidak dapat melakoni, meneladani, memberi contoh? Bagaimana Indonesia mau naik peringkat menjadi negara inovatif, para pemimpin bangsa yang dilahirkan dari partai politik juga banyak yang "karbitan". Tidak kreatif dan inovatif namun dapat duduk di kursi-kursi pemimpin karena ada yang "memodali". 

Maka, saat sudah duduk di kursi dan menjabat, bagaimana mau konsentrasi memerhatikan 80 indikator penilaian GII menyoal negara inovatif. 

Seandainya pemimpin negeri ini amanah, benar dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka jangankan penilaian negara inovatif dari GII atau penilain pendidikan dari Programme for International Student Asessment (PISA), maka segala jenis penilaian lain di dunia, tentu akan dapat berbicara banyak. 

Bila penilaian negara inovatif dari GII tahun 2019 Indonesia terpuruk di level 85, maka berdasarkan laporan PISA yang dirilis, Selasa 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara. 

Tiga skor itu kompak menurun dari tes PISA 2015, padahal kementerian pendidikan Indonesia juga sudah tahu bagaimana indikator penilaian tes dari PISA yang hanya tiga bidang, yaitu membaca, matematika, dan sains. 

Beginilah nasib Indonesia, akan terus terpuruk di segala bidang, karena para pemimpin bangsa yang harusnya amanah, hanya terus memikirkan kejayaan dirinya, partainya, dan balas budi kepada cukong yang telah membiayai sepak terjang mereka dengan terus mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia bukan untuk kesejahteraan rakyat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun