Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Merawat Kepercayaan Rakyat

1 Februari 2020   15:23 Diperbarui: 3 Februari 2020   07:46 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Periode Kedua Kabinet Indonesia Maju (Kerja) baru lewat 100 hari. Masih ada ribuan hari lagi hingga akhir kekuasaan di tahun 2024. 

Dari tampuk kepemimpinan yang kini sedang diemban Presiden dan para menteri serta para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang semuanya dipilih oleh rakyat, apap pun produk pekerjaan yang kini mereka lakukan dalam bentuk kebijakan maupun Undang-Undang, yang seharusnya demi kemaslahatan umat dan kesejahteraan rakyat, nyatanya malah membikin rakyat berteriak, tambah menderita. 

Saat kepemimpinan di periode pertama, nampaknya, baik Presiden maupun DPR yang lebih banyak diisi oleh gerbong partai koalisi mereka, produk Undang-Undang maupun kebijakannya memihak ke rakyat. 

Namun, di periode kedua, dalam tempo 100 hari kerja, produk Undang-Undang dan kebijakannya tak lagi memihak rakyat. Seolah negara NKRI bukan lagi sebagai NKRI, tetapi lebih mirip sebagai NKKI (Negara Kesatuan Kerajaan Indonesia). 

Apa-apa yang dititahkan oleh pemimpin negara dan DPR, meskipun rakyat sudah berteriak tak setuju, tetap saja produk Undang-Undang dan Kebijakan apapun yang mereka inginkan tetap.diberlakukan. 

Saat rakyat benar-benar telah gelisah hingga akhirnya membikin deomostrasi yang juga akibatkan adanya korban, mereka tak bergeming. 

Atas ketaksetujuan rakyat, bila pemimpin Negara diminta menurunkan Perppu, dari produk UU atau kebijkan yang ditentang maka mereka tetap bergeming dan sembunyi di balik jalur hukum bernama Mahkamah Konstitusi (MK).

Sementara, rakyat pun tahu, bila ada hal yang sampai masuk ke ranah MK, hasilnya pun dapat ditebak. 

Mengapa pemimpin negara dan DPR, seolah menjadi tak punya hati untuk rakyat? Semua berkoar apa yang mereka lakukan demi dan atas nama rakyat. Tetapi mereka saling bagi kursi jabatan gratis dan bancakan uang rakyat demi diri sendiri dan kelompoknya. 

Rakyat semakin terlihat antipati. Bahkan, saat Wakil Presiden lewat menggunakan KRL untuk sebuah tugas, tapi membikin rakyat pengguna KRL terlantar, tak pelak, rombongan sekelas Wakil Presiden pun disoraki. Hingga pihak Istana akhirnya meminta maaf. 

Herannya, pemimpin dan DPR terus saja membombardir keputusan dan kebijakan yang semakin membikin rakyat "jengah." Ironisnya, mereka semua nampak tak peduli, seolah memang sedang mencatatkan diri dalam buku sejarah Indonesia, bahwa dalam periode kepemimpinan merekalah segalanya dibuat menjadi sesuai keinginan mereka. Bukan keinginan dan harapan rakyat. 

Sepertinya mereka ingin, anak cucu NKRI, nantinya membaca buku sejarah baru. Siapa yang memindahkan Ibu Kota Indonesia? Siapa yang mengubah UU KPK? Siapa yang membikin jabatan staf khusus? Siapa yang menguasai BUMN? Siapa yang membuka kran investor? Siapa yang membangun infrastruktur? Siapa yang menaikkan iuran ini dan iuran itu? 

Sadarkah mereka, semakin ke sini, rakyat semakin antipati melihat pergerakan dan drama yang terus mereka pertontonkan? Setiap waktu, kini rakyat hanya menjadi penonton panggung drama mereka yang berbuat dan bertindak semaunya. 

Rakyat pun hanya menjadi penonton para pemimpin dan elite partai serta orang kaya di pusaran mereka yang hidup bergelimang kememahan dan harta,  rakyat hanya menonton dan membaca berita, mereka mendapat gaji dan tunjangan puluhan hingga ratusan juta, bahkan miliar, yang semuanya diambil dari uang rakyat. 

Malahan ada pejabat BUMN yang dikasih kursi gratis tanpa seleksi seperti ribuan rakyat yang berjuang demi sebuah kursi PNS, lalu dapat gaji miliar, namun dalam sebuah acara sakral keagamaan tidak hadir, malah menjadi bahan sindiran Presiden, tetapi saat dikinfirmasi mengapa tidak hadir, jawabnya menghalalkan cara dirinya sendiri. Sangat tidak etis. Presiden saja bisa hadir. Gitu, lho?

Sampai kapan rakyat hanya menjadi penonton dan menderita, di bawah panggung drama yang mereka ciptakan untuk kepentingan mereka dan demi sejarah kelompok mereka. Sampai kapan? 

Ingat,  baru lewat 100 hari, rakyat semakin antipati. Bisa gawat, bila kepercayaan rakyat, terus dilunturkan oleh mereka sendiri, sebab aji mumpung karena masa akhir periode. 

Bila drama terus begini, siapa yang dapat merawat kepercayaan rakyat tumbuh dan kuat lagi? Sementara, kini rakyat pun banyak yang "halu" karena keriduan akan hadirnya "Ratu Adil".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun