Jelas bahwa, rendahnya kesejahteraan dan pendidikan masyarakat  Indonesia di pelosok-pelosok daerah, menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan keadaan.Â
Di sisi lain, bila sampai ada model keraton atau kerajaan abal-abal muncul.di suatu daerah, namun tidak cepat dideteksi oleh Ketua RT/RW/Lurah/Kepala Desa/Camat dan seterusnya, ke mana saja para pemimpin warga ini?Â
Andai saja para pemimpin warga di kesatuan terkecil, sigap dan cepat tanggap, atas adanya kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada masyarakat di bawah kepemimpinannya, maka tidak ada warganya yang tertipu.Â
Selain itu, juga dapat membantu dan menyadarkan orang-orang yang mau menipu sadar, lalu berhenti melakukan kegiatan yang melawan hukum.Â
Jangan malah membiarkan orang yang sedang di jalan yang salah terus tercebur di kubangan yang salah, dan pada saatnya, lalu ditangkap. Inilah fenomena budaya yang salah masyarakat kita, pemimpin-pemimpin dari lingkungan terkecil, dalam menghadapi persoalan yang ada di sekelilingnya.Â
Saat pendidikan, perekonomian dan kesejahteraan rakyat belum merata di NKRI ini, sementara para pemimpin negeri, elite partai, dan orang kaya terus "pamer" gaya dan kemewahan, tetapi rakyat malah tertindas dengan berbagai rentetan kebijakan yang menambah derita, inilah satu di antara dampaknya.Â
Rakyat yang bermimpi bisa hidup dengan gaya dan kemewahan secara instan, seperti para pemimpin negeri, elite partai, dan orang kaya yang  hanya "mengambil" dan "memeras" rakyat akhirnya tergelincir dalam dunia tipu-tipuan.Â
Lahirnya keraton atau kerajaan jejadian, memberikan fakta, bahwa masyarakat kita masih banyak yang miskin kecerdasan dan miskin kesejahteraan, sementara pemimpin kita malah terus asyik "bancakan" bagi-bagi kursi kekuasaan, jabatan gratis, dan mengambil uang rakyat untuk gaji dan tunjangan "mereka" dengan "akal-akalannya". Miris.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H