Ingin sejahtera, ingin dihargai, ingin terhormat, ingin dikenal, ingin mengenakan pakaian kebesaran, ingin mendapat jabatan, dan ingin-ingin lainnya, namun tidak diimbangi oleh "kecerdasan berpikir", maka ketika ada penawaran untuk mendapatkan semua keinginan tersebut terwujud, meski dengan jalan pintas yang di luar logika, maka masyarakat tetap ikut ambil bagian dalam kegiatan yang tak masuk akal, yaitu bergabung dengan kerjaan fiktif.Â
Munculnya sejumlah keraton atau kerajaan fiktif di sejumlah wilayah Indonesia, mulai dari Keraton Agung Sejagat di Purworejo, hingga Sunda Empire di Bandung, mempertegas bahwa masyarakat Indonesia, selain belum sejahtera, tingkat pendidikannya juga rendah.Â
Selain Keraton Agung Sejagad, yang kini pelaku utamanya sudah di tangan polisi, perihal keberadaan Kerajaan Djipang yang dibentuk untuk keperluan pariwisata daerah, juga masih menjadi perbincangan.Â
Sementara menyoal Sunda Empire, hingga kini masih dalam penyelidikan kepolisian.Â
Atas fenomena ini, muncullah banyak oponi di tengah masyarakat, mengapa ada yang berpikir membikin kerjaan fiktif, dan ironisnya, mengapa masyarakat juga tetap ada yang terjerat, lalu tergiur ikut menjadi bagian dari kerajaan fiktif tersebut?Â
Menurut Sandiaga Uno, alasan munculnya kerjaan fiktif ini, satu di antaranya karena faktor ketimpangan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. "Satu di antara yang menjadi landasan utama adalah ketimpangan ekonomi," ujar Sandi yang dilansir dari kanal YouTube Kompas Tv (19/12/2020).Â
Mengamini apa yang diungkap Sandi, kemajuan zaman dan teknologi hingga menjamurnya medsos dan medion yang yang kini sangat mudah dijangkau masyarakat semua kalangan, maka masyarakat lebih banyak ingin meniru gaya hidup dan keberhasilan orang-orang kaya dan pejabat negara.Â
Karena kondisi ekonomi di tambah lapangan pekerjaan yang tidak menentu, maka daya khayal masyarakat semakin tinggi, Â ingin kaya dengan mengambil jalan pintas melalui cara - cara instan.Â
Masyarakat lebih banyak yang melihat "ke atas", melihat contoh-contoh masyarakat yamg berhasil dari segi tampilan, melihat tetangganya yang sukses, melihat gaya hidup borjouis seperti keluarga kerajaan di Indonesia maupuan di mancanegara, jadi ketika ada iming-iming dan tawaran menggiurkan, meski tak masuk akal, tetap saja mereka terbius dan masuk perangkap, dan malah menjadi korban penipuan.Â
Di sisi lain, sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menjelaskan bahwa masyarakat yang mau menjadi anggota Keraton Agung Sejagat (KAS) merupakan masyarakat yang memiliki mental irasional.Â
Mental irasional yang dimaksud adalah masih terpatrinya ingatan tentang Ratu Adil yang akan datang di masa mendatang. "Orang-orang di Jawa itu masih ada konsep Ratu Adil akan datang, konsep masa depan akan datang. Nah konsep seperti itu yang kelihatannya dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu," ujar Bagong, kepada awak media, Sabtu (18/1/2020).Â
Jelas bahwa, rendahnya kesejahteraan dan pendidikan masyarakat  Indonesia di pelosok-pelosok daerah, menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan keadaan.Â
Di sisi lain, bila sampai ada model keraton atau kerajaan abal-abal muncul.di suatu daerah, namun tidak cepat dideteksi oleh Ketua RT/RW/Lurah/Kepala Desa/Camat dan seterusnya, ke mana saja para pemimpin warga ini?Â
Andai saja para pemimpin warga di kesatuan terkecil, sigap dan cepat tanggap, atas adanya kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada masyarakat di bawah kepemimpinannya, maka tidak ada warganya yang tertipu.Â
Selain itu, juga dapat membantu dan menyadarkan orang-orang yang mau menipu sadar, lalu berhenti melakukan kegiatan yang melawan hukum.Â
Jangan malah membiarkan orang yang sedang di jalan yang salah terus tercebur di kubangan yang salah, dan pada saatnya, lalu ditangkap. Inilah fenomena budaya yang salah masyarakat kita, pemimpin-pemimpin dari lingkungan terkecil, dalam menghadapi persoalan yang ada di sekelilingnya.Â
Saat pendidikan, perekonomian dan kesejahteraan rakyat belum merata di NKRI ini, sementara para pemimpin negeri, elite partai, dan orang kaya terus "pamer" gaya dan kemewahan, tetapi rakyat malah tertindas dengan berbagai rentetan kebijakan yang menambah derita, inilah satu di antara dampaknya.Â
Rakyat yang bermimpi bisa hidup dengan gaya dan kemewahan secara instan, seperti para pemimpin negeri, elite partai, dan orang kaya yang  hanya "mengambil" dan "memeras" rakyat akhirnya tergelincir dalam dunia tipu-tipuan.Â
Lahirnya keraton atau kerajaan jejadian, memberikan fakta, bahwa masyarakat kita masih banyak yang miskin kecerdasan dan miskin kesejahteraan, sementara pemimpin kita malah terus asyik "bancakan" bagi-bagi kursi kekuasaan, jabatan gratis, dan mengambil uang rakyat untuk gaji dan tunjangan "mereka" dengan "akal-akalannya". Miris.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H