Zaman kian berkembang, siapa saja yang tidak dapat menyesuaikan diri, maka akan tertinggal dan ditinggal.Â
Kabinet Indonesia Maju yang dibesut oleh Presiden Jokowi pun, kini dituntut dengan cepat mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan tugas dan tanggungjawabnya.Â
Karenanya, kini rakyat Indonesia sudah tak asing dengan kata-kata "copot" yang sering diungkap Presiden bila ada pejabat negara yang tidak dapat melakukan derap langkah tugas sesuai arahannya.Â
Menteri BUMN, Erick Thohir sudah sigap dengan membongkar kasus maskapai pelat merah Garuda Indonesia.Â
Lalu, Nadiem Makarim, Mendikbud juga tegas menghapus UN. Ini adalah bukti dari kemampuan kedua menteri ini dalam menyesuaikan diri dengan "Komunitas Kabinet Indonesia Maju" dan arahan Presiden.Â
Bagaimana dengan masyarakat kita? Bila seorang individu bergabung dengan sebuah "komunitas", seperti Mas Erick dan Mas Nadiem, semisal di tempat kerja atau tempat tinggal, atau lingkungan sosial atau tempat usaha baru, atau perkumpulan atau organisasi dan lain sebagainya, siapakah yang wajib menyesuaikan diri?Â
Jawabnya sudah pasti, bukan komunitas yang akan menyesuaikan diri terhadap individu. Tetapi, individulah yang harus dapat menyesuaikan diri terhadap komunitas tersebut.Â
Terlebih komunitas tersebut sudah "teruji oleh waktu" serta memiliki peraturan dan hal-hal lain yang bersifat mengikat, Â terhadap anggota komunitasnya.Â
Bila individu memastikan dan yakin bergabung dengan "komunitas" tersebut, maka pastikan, langkah perdana adalah individu wajib dapat menyesuaikan diri. Soeharto Heerdjan (1987) menyebut bahwa, "Penyesuaian diri adalah usaha atau perilaku yang tujuannya mengatasi kesulitan dan hambatan".Â
Seseorang dikatakan dapat menyesuaikan diri dengan baik berarti dia berhasil melalui hambatannya. Namun dalam kenyataannya tidak semua individu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya.Â
Sebabnya, adanya suatu rintangan dan hambatan tertentu yang menyebabkan dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.Â