BELAKANGAN tidur saya kurang nikmat. Kepala terasa penat. Bukan lantaran wasir saya kumat. Pikiran tak karuan meloncat. Menari-nari menjadi paranoid.
Mentari pagi perlahan jadi menjauh. Sejauh sahabat, kerabat, pergi. Rekan seprofesi: wartawan. Satu per satu. Pergi untuk tak kembali. Mereka terlelap dalam perut bumi.
Bukan hanya di Jakarta dan Depok, tempat saya tinggal. Tapi juga di daerah lainnya. Kabar saya dapat dari rekan wartawan di grup Siwo PWI se-Indonesia.
Saya percaya kepergian mereka takdir Ilahi. Jodoh, rezeki, dan maut, rahasia-Nya. Sudah tersurat. Tapi hati terus meronta. Sulit dipercaya, tapi nyata.
Belum lagi mereka yang menginap di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta. Jika Asian Games 2018 lalu, saya ke sana untuk meliput atlet nasional. Kini, wartawan yang diliput. Karena terserang Covid.
Ya, mereka pergi akibat terpapar Covid-19. Ada yang bertahan dua minggu. Seminggu, bahkan hanya sehari. Ada juga yang dalam perjalanan ke rumah sakit.
Virus corona tak pandang bulu. Tak melihat tua atau muda. Pria atau wanita. Pejabat atau rakyat. Mahluk/benda superkecil itu menyerang siapa saja. Imunitas tubuh yang lemah jadi santapannya.
Kepala makin cenat cenut. Info di grup WhatsApp RT hampir tiap hari soal warga covid. Dua warga meninggal. Lebih dari 40 orang isolasi mandiri. Sejak sebulan terakhir ini.
Sungguh prihatin. Tempat kami tinggal masuk zonasi merah. Lebih dari 5 rumah dalam sepekan diserang virus asal Wuhan.
Ketua RT Budi Riyanto cukup cekatan. Melayani warganya dengan penuh kesabaran. Informasi warga yang Covid juga dilaporkan ke gugus tugas kampung siaga.
Dia tak bosan mengingatkan warganya. Tindakan preventif tak henti dilakukan. Mulai dari wajib pakai masker, hindari kerumunan hingga harus 'me-lockdown' lingkungan. Spanduk dibentangkan di gerbang pintu masuk komplek. Pun penyemprotan disinfektan.