Mohon tunggu...
suryansyah
suryansyah Mohon Tunggu... siwo pusat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

warga depok paling pinggir, suka menulis apa saja, yang penting bisa bermanfaat untuk orang banyak. Email: suryansyah_sur@yahoo.com, siwopusat2020@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Satu Jam 50 Franc Swiss, Alamaaak!

6 Juni 2021   20:01 Diperbarui: 30 Mei 2022   19:30 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun kereta api di Zurich, Swiss (foto dokumen penulis)

GILA..! Begitu kata seorang teman setelah saya bercerita. Sembari menggelengkan kepala. Saya juga kaget.

Pelayan cafe internet di Zurich (Swiss) menyebut 50 Franc Swiss (CHF) atau sekitar Rp 780.000 (kurs sekarang Rp 15.795).
   
"Berapa...?" tanya saya pada petugas cafe internet itu saraya tak percaya.

Telinga saya masih bisa bedakan ucapan antara fifteen dan fifty. Saya pikir 15 CHF. Itu pun masih kelewat mahal. Saya masih belum yakin. Coba kembali bertanya, jawabannya sama. Tidak berubah. 50 CHF!

Saya cuma nongkrong di cafe internet itu sekitar 1 jam. Perkiraan saya paling banter biayanya 3-5 CHF. 

Harga itu ketika meliput Piala Dunia 2006 di Jerman. Umumnya, orang Turki yang membuka usaha cafe internet di Jerman mematok tarif sewa 2-3 Euro per jam. Standarlah!

Swiss memang bukan Jerman. Meski bertetangga. Biaya hidup di Swiss jauh lebih tinggi. Jerman pakai mata uang Euro. Di Swiss, Euro tidak laku. Saya coba isi pulsa sodorkan Euro ditolak.  Transaksi hanya menggunakan Franc Swiss.

Saya tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali merogoh kocek dengan lemas. 50 CHF! Alamaak...! Untungnya, saya 'nggak' jantungan. Cuma nyesak saja sedikit.

Nicole Schoewel, pemilik cafe memang ramah. Dia dengan sabar melayani permintaan saya untuk mengubah menu windows dari bahasa Jerman ke Inggris.

Sebenarnya saya tak punya rencana berhenti di Zurich. Tujuan saya adalah Geneva (baca: Zenewa). Tapi, harus berganti kereta. Dan baru bisa berangkat keesokan siang hari.

Saya akhirnya memutuskan bermalam di stasiun Zurich, kota metropolis. Saya memilih sudut tempat yang relatif nyaman. Beralaskan kertas koran. Sambil merekam gerak-gerik orang yang lalu lalang.

Semua saya nikmati. Setidaknya saya tahu warna malam di satu titik. Dari bisingnya deru mesin kereta hingga senyap tanpa suara. Hanya hembusan angin nakal yang menggoda.

Sesekali teriakan orang mabuk. Mereka menari dan bernyanyi. Tersembur 'bau naga' dari mulutnya. Tidak 'rese' seperti warga +62. Pihak keamanan selalu siaga.

Malam yang pendek itu terekam dalam kepala. Lalu saya tuangkan lewat sebuah tulisan. Semalam di Kota Zurich.

Paginya saya menyisir kota mencari cafe internet. Tidak jauh dari stasiun. Sambil cari sarapan. Ternyata baru buka pukul 10.00. Kereta ke Geneva pukul 12.30. Masih terkejar!

Tapi, gara-gara 50 CHF bikin saya kurang mood. Saya masih tidak habis pikir. Apa karena saya orang asing, jadi 'diketok'. Dianggap banyak uang. Mungkin sama halnya perlakuan orang kita terhadap turis. Main ketok harga. 'Aji mumpung'.

Ya sudahlah. Saya ambil hikmahnya. Ini pengalaman berharga.  Mestinya saya tanya dulu sebelum duduk. Kalau tahu harganya mahal, pasti saya cari tempat lain.

Rasa nyesak itu tak mengurungkan perjalanan saya ke Zenewa. Jarak tempuh sekitar 4 jam. Masih bisa nonton pertandingan Portugal vs Turki. Kick-off pukul 19.45 waktu setempat.

Saya sadar tingkat kehidupan di Swiss memang tinggi. Semua serba mahal. Tak ada yang murah. Lemon tea ukuran botol medium di Jakarta harganya sekitar Rp 3.000, di Swiss maupun Austria banderolnya 3 CHF kalau dikurs sekarang sekitar (Rp 45.200). Air mineral pun harganya sama.

Untungnya, naik kereta antarkota atau lintas negara Swiss-Austria, gratis. Saya cukup perlihatkan 'kartu sakti' ID Card Press yang dikeluarkan UEFA. Federasi Sepakbola Eropa. Kalau tidak, hmmmm... bisa jebol kantong.

Tapi, kekecewaan saya terobati di Geneva. Saya bertemu Humberto Manuel Jesus Coelho. Dia mantan pelatih Portugal periode 1997-2000. 

Pria yang dulunya berkumis kini berdandan klinis. Bersih, rapi, dan dendy. Maklum, sekarang jadi komentator salah satu televisi Portugal.

Suryansyah mencegat Pepe (Portugal) di mixed zone
Suryansyah mencegat Pepe (Portugal) di mixed zone
Dia dengan ramah bersedia menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Beberapa pemain Portugal seperti Pepe dan Ricardo Carvalho serta pemain Turki berhasil saya korek komentarnya setelah pertandingan. Saya mencegatnya di mixed zone.

Saya sengaja tak mengejar Cristiano Ronaldo. Saya pernah ketemu di  Mixed zone. Area pemain menuju bus setelah pertandingan. Di Estadio do Dragao, Porto pada Euro 2004. Arena tersebut khusus wartawan.

Saya kecewa ketika memperkenalkan diri dari Indonesia, Ronaldo hanya memberi isyarat ibu jari kebawah. Berlalu dengan wajah masam.  Dongkol juga saya.

Sejak itu, saya berpikir Ronaldo sombong. Tapi, saya tak menghujat atau mencaci. Dia tetap bintang idola saya.  

Ketika itu saya juga melihat Luis Figo mendamprat wartawan Spanyol di tempat yang sama. Sambil menunjuk hidung. Saya tak mengerti kenapa. Karena Figo menggunakan bahasa ibunya.

Apa karena saat itu Portugal kalah 1-2 dari Yunani? Mereka kecewa? Bisa jadi. Kalau menang, tentu lain ceritanya. 

Mungkin juga ada alasan tersendiri. Saya gagal mencari tahu. Sama seperti yang saya alami. Hati ini masih mengganjal gegara 50 CHF per jam di Zurich. Saya hanya meyakini semua ada hikmahnya. Ada bahan cerita untuk dijadikan berita. ***

Suryansyah
Warga Depok Paling Pinggir

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun