Cinta terhadap profesi sebagai wartawan. Cinta terhadap sepak bola. Keluarga yang saya tinggalkan nun jauh di Depok, Jawa Barat.
Manis pahitnya tugas jurnalistik yang saya jalani selama liputan sepak bola Piala Euro adalah sebuah pelajaran berharga. Saya tak pernah menyerah meski sesulit apapun tugas. Saya jalani dengan ketulusan.
Keringat, darah dan air mata, sudah biasa tumpah. Selama 40 hari liputan di Eropa. Tapi, saya menikmatinya.
Menempuh ratusan kilometer dari satu kota ke kota lain yang melelahkan sudah bagian dari risiko.Â
Bermain kucing-kucingan dengan petugas demi mendapatkan target liputan bukan sesuatu yang baru.Â
Kala meliput Euro 2004 di Portugal dan Piala Dunia 2006 di Jerman, saya sudah merasakan getirnya. Berbagai jurus saya lakoni. Termasuk 'dewa mabok' demi sebuah target liputan. Â
Bahkan pada Piala Eropa 2012 di Polandia dan Ukraina saya bisa sarapan pagi bersama Davor Suker. Saya janjian dengan topskorer Piala Dunia 1998 berkat seorang wartawan Belgia yang saya temui di sebuah hotel.Â
Kala itu, saya tanpa akreditasi dari UEFA. Identitas untuk seorang wartawan peliput. Tapi, karena cinta, saya bisa bersantai dengan Davor Suker.Â
"Silakan pesan bir dan sarapan," kata Davor Suker saat menerima saya di restoran Hotel di Ukraina.Â
Buat saya itu sebuah kehormatan duduk semeja dengan seorang legendaris. Saya memilih air mineral dan roti. Bukan tidak menghormati budaya 'ngebir' orang Eropa di pagi hari. Â Saya tak ingin mengulang ketika pertama tiba di Warsawa, Polandia. Pemilik apartement yang saya sewa, mencekoki saya dengan wisky.
Tapi, saya menganggapnya itu pengorban cinta. Apapun bentuknya. Tentu ada konsekuensi yang harus dibayar. Perjalanan ke arah sana tak semulus yang diharapkan.Â