SEBOTOL bir menemani langkah saya dari Zurich ke Wina. Bukan mau gaya-gayaan seperti suporter bule yang doyan mabuk. Saya hanya sekadar menghangatkan badan. Pun berharap bisa tidur sepanjang perjalanan 12 jam dengan kereta. Apalagi di Kota Zurich, Swiss, Â maupun di badan kereta dinginnya cukup menusuk tulang.
Alamaaak...saya malah terjaga. "Dasar urat melayu," saya menggerutu. Mondar-mandir ke toilet buang air kecil. Ngerinya, di gerbong kelas satu hanya seorang diri. Khawatir tas saya yang berisi laptop raip. Tapi, saya coba meyakinkan diri, pasti aman. Apalagi di kereta cepat ICE itu keamanan cukup aktif bola-balik.
Seperti biasa, Â saya mencoba bikin tulisan di kereta. Saya ingin membuat laporan hasil wawancara dengan Ricardo Carvalho yang saya temui saat sesi latihan Portugal jelang duel kedua dengan Rep. Ceko.
Sialnya, getaran kereta menghantam konsentrasi saya. Kontan kepala saya pusing, mungkin karena bir Carlberg. Perlahan-lahan, saya pun tertidur. Lumayan.
"Paspor please!" seru polisi membangunkan saya di perbatasan Swiss-Austria.Â
Memasuki kota Salzburg, seorang wartawan Inggris bernama Mark Lyloid masuk dan membuka percakapan. "Saya sebenarnya meliput setengah hati, karena tak ada tim Inggris di sini," ungkapnya.
Koran Inggris menurutnya tak terlalu jor-joran mengkover Euro 2008. Meskipun tak sedikit wartawan Inggris yang datang ke Swiss-Austria. Saya hanya bisa mengamini, karena saya datang dari negara yang prestasi sepakbolanya kering. Tapi, saya yakinkan Mark bahwa fanatisme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola tak kalah tingginya dengan hooligans.
Ah...lupakan soal itu. Saya harus memanfaatkan waktu membuat laporan ke kantor. Tapi, lagi-lagi kepala saya pening saat memasuki beberapa paragraf tulisan. Perut pun terasa mual karena sejak hari pertama mendarat di sini, saya tak ketemu nasi. Padahal, saya bawa beras dan kopernya saya titipkan di apartemen seorang teman di Wina.
Persis jam 03.00 waktu setempat (08.00 pagi) WIB, saya tiba di Wina. Alamaaak... sepi banget kaya kuburan. Hanya segelintir  orang yang tidur-tidur. Mungkin mereka mau pergi ke luar kota.
Berbeda dengan Zurich pada saat yang sama, banyak orang berkeliaran. Pola mereka pun aneh-aneh, ada yang bernyanyi, mabuk karena alkohol, kissing-kissing dan berbagai macam aktivitas. Tapi, saya merasa nyaman.
Di Wina, tak ada pilihan buat saya selain menunggu matahari datang. Karena kereta U-bahn (jabotabek) baru bergerak jam 05.00 pagi. Saya tak berani keluar stasiun, karena anginnya tak bersahabat dengan badan saya. Meskipun saya sudah pakai baju plus jaket tiga lapis.
Sambil menunggu matahari, sesekali saya mengikuti kaki melangkah. Dengan harapan ada sesuatu kehidupan yang bisa saya nikmati dan dijadikan bahan tulisan. Saya hanya bertemu dua wanita yang minta koin buat beli makanan di mesin. Saya memberinya 1 euro dan mencoba mengorek informasi.
"Ada atau tidak ada Euro 08, beginilah Wina seperti yang Anda lihat. Masyarakat di sini jarang-jarang keluar rumah kecuali mereka yang memang kerjanya jauh keluar kota. Yang lain... mereka menunggu matahari datang, baru jalan," jelas bule yang tak sempat saya tanya namanya.
Duh... bule di buminya sendiri saja malas bangun pagi.
Begitu matahari muncul, saya pun mengayunkan kaki mencari alamat apartemen Vivarium Strasse, yang saya sewa dari Jakarta lewat internet. Tapi belum pernah saya tempati sejak pertama kali ke Austria hingga kembali ke Jakarta. Saya lebih menikmati 'tidur ayam' di jalan sambil mencari inspirasi.
Menurut survey, Wina, ibu kota Austria, kota yang paling layak huni di dunia sesuai laporan Economist Intelligence Unit (EIU). Survei mencakup 140 kota dari berbagai belahan dunia.
Wina menyingkirkan Kota Melbourne, Australia, yang selalu menempati posisi pertama dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H