Wanita itu bercerita banyak soal kehidupannya. Dia juga memberi pandangan masyarakat di sana, tempat-tempat hiburan yang ada di sekitar sambil menawarkan minuman beralkohol. Satu loki ketika itu dihargai sekitar Rp 50 ribu (setelah dikonversi dari dolar Brunei).
Lumayan mahal untuk kantong kami! Tapi setimpal dengan informasi yang kami dapat. Wanita itu juga menawarkan jasa bermalam. Dia bilang disini nyaman, tinggal pilih teman tidurnya. Tapi, wanitanya rerata pemalu. Hanya saja kami memilih kembali ke Bandar Seri Begawan.
Tanpa sadar kami kejar-kejaran dengan waktu. Karena pesawat ke Jakarta take off pukul 12.00 siang. Saya sempat panik ketika tiba di tempat penginapan. Koper-koper tak ada di tempat. Teman-teman satu penginapan juga sudah menghilang. Saya lihat di meja ada secarik kertas. "Posisi dimana? Semua koper gue angkut ke bandara. Pesawat take off jam 12." Begitu pesannya.
Hati tidak tenang. Tapi keringat seperti kulit jagung. Sisa waktu satu jam untuk menuju ke bandara yang berbasis di Pangkalan Udara Rimba Air itu. Sopor taksi saya minta tancap gas. Sekitar 5 menit sebelum pintu pesawat ditutup kami tiba. Saya dan Buhari menjadi penumpang terakhir. Plong...!
Berbeda dengan kehidupan di Eropa. Saya tak pernah bosan. Bukan hanya banyak tempat hiburan, tapi bentuk bangunannya juga eksotis. Ada tempat tongkrongan favorit di tiap kota.
Di Portugal, misalnya. Ada Rossio! Terletak di pusat kota Lisbon. Rossio tak pernah tidur. Apalagi ketika Piala Eropa digelar Juni-Juli 2004. Para suporter menggelar pesta sebelum dan setelah pertandingan. Mereka bernyanyi sambil menenteng botol bir. Tapi tidak 'rese' seperti suporter di Tanah Air. Layar raksasa ada di setiap sudut cafe.
Dulunya, Rossio salah satu alun-alun utama sejak abad pertengahan. Tempat pemberontakan dan perayaan populer, adu banteng dan eksekusi. Sekarang menjadi tempat pertemuan yang disukai penduduk asli Lisbon dan turis.
Berbagai kehidupan ada di Rossio. Bento--pria kelahiran Timor Leste- mengaku kerasan tinggal di Portugal. Dia memilih menjadi warga Portugal setelah Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia pada 30 Agustus 1999.
"Orang Timor Leste menjadi prioritas ketimbang warga Brasil di sini. Makanya proses kewarganegaraan Portugal saya terbilang cepat," kata Bento yang saya temui di Rossio.
Saya memaklumi, karena Timor Leste pernah menjadi koloni Portugal selama lebih dari 400 tahun. Bento juga banyak bicara politik. Tapi saya tak tertarik. "Kita tetap bersaudara walau saya sekarang orang Portugal," tuturnya sambil nyeruput kopi.
Pandangan matanya kemudian menuntun saya ke sebuah tempat. Bento tahu mana wanita nakal dan baik-baik. Dia punya kartu truf untuk membedakannya. Hampir di pinggir jalan ada wanita nakal. Mereka biasa mangkal di depan sebuah toko.