Mohon tunggu...
suryansyah
suryansyah Mohon Tunggu... Editor - siwo pusat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

warga depok paling pinggir, suka menulis apa saja, yang penting bisa bermanfaat untuk orang banyak. Email: suryansyah_sur@yahoo.com, siwopusat2020@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Daun Berguguran di Tanah Basah

23 Mei 2021   16:32 Diperbarui: 31 Mei 2022   09:01 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendung yang sejak semalam menggantung tersibak menyingkir pelan-pelan. Seakan ikut mengantar keberangkatan Tejo menuju gerbang hari kebahagiaan.

Tapi hati Tejo malah kembali bergetar. Padahal ini akan menjadi  hari yang sakral. Hari terindah sepanjang hidup anak manusia. Karena manusia ditakdirkan untuk berpasangan.

Dalam iringan tiga mobil, Tejo tampak belum tenang. Matanya cekung kurang tidur. Bibirnya kering. Berbatang rokok telah dibakarnya sepanjang malam. Tatapannya separuh kosong. Sesekali Tejo membasu wajahnya. Dia seperti menyimpan sesuatu dalam kepalanya.

"Tenang bro jangan tegang. Bawa happy saja," ujar Argan sembari nyetir memecah keheningan perjalanan.

Tejo menoleh ke kanan. Sesekali bicara agak terpatah- patah. Dia mencoba santai tapi raut wajah tak bisa bohong. Kegelisahannya tercermin dengan caranya bersandar di kursi kiri depan.

Keluarga mempelai wanita menyambut di depan pintu. Dua roti buaya dan perlengkapan calon pengantin wanita diturunkan satu per satu dari mobil. Candaan nakal sahabat mencoba menghibur Tejo. Tapi tampak belum juga mencairkan kegelisahan Tejo. Meskipun dia sempat melepas tawa. Tapi terkesan dipaksakan.

Bahkan penghulu meminta Tejo mengulang untuk ucapkan ijab kabul. Padahal dia sudah belajar dan menghapal sehari sebelumnya. "Maklum sudah lama, jadi lupa," celetuk Tanto yang doyan becanda.

Kontan semua orang yang hadir tertawa grrrr...Suasana yang tadinya hening jadi pecah. Tapi tidak dengan Tejo. Kegelisahan terpancar dari wajahnya yang cekung. Dia sesekali membasuh peluh yang menetes. Dia tampak grogi. Sebelum ada kata sah dari penghulu.

Mungkin bisa dimaklumi karena hampir sepuluh tahun Tejo berstatus duda. Istrinya meninggal dunia karena sakit. Tejo diwarisi tiga orang anak dari pernikahan pertamanya. Dia merawat dan membesarkan semua anaknya.

Tejo merasa seperti daun yang berguguran di tanah basah. Dia merasakan getirnya hidup tanpa pendamping. Sekalipun dia tegar tetap masih ada yang kurang. Ada satu sisi yang membuatnya rapuh. Tak berdaya.

Dalam tiga tahun beruntun, Tejo kehilangan tiga wanita yang dicintainya. Mereka serperti daun yang berguguran d tanah basah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun