Meremang bulu-bulu halus di kedua tanganku, saat aku menceritakan kembali kisah itu.
Padahal bukan aku sendiri yang mengalaminya.
Padahal sudah berjeda sekian lama.
Padahal sudah sekian ratus kilometer pula jauhnya.
Kisah itu begini:
Seorang Ibu Sepuh berkebaya putih.
Ibu yang telah sepuh usianya.
Ada giwang di cuping telinganya.
Ada kalung di lehernya.
Ada gelang di tangannya yang telah mengeriput.
Emas murni.
Senyumnya ramah teduh.
Senyum yang paling mendamaikan yang pernah ia saksikan sepanjang hidupnya.
"Selamat datang, Cucuku ....."
Kata Ibu berkebaya putih itu padanya.
Sang Ibu Berkebaya Putih duduk di salah satu rumah kayu bambu tanpa pasak tanpa paku. Rumah panggung di hamparan tanah murni. Tanah yang di salah satu kampungnya tergurat dengan bambu lukisan rumah adat yang indah. Tanah yang kaya akan makna dan kesejatian Hitam dan Putih.
Tanah yang sempat membuat terperanjat karena semua doa berhulu kepada Nur Muhammad. Bahkan Nabi Sulaiman pun tak dilupa. Serta para leluhur nusantara pun tak terlewatkan.
***
Ah.
Kebaya.
Selalu mengingatkanku pada Ibu-ku.
Beliau adalah wanita paling cantik di dunia, manakala berbusanakan kebaya.
Sholallahu alaa Muhammad.
Alfatihah untuk semua IBU.
Tak terkecuali Sang Ibu Bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H