Di tengah perjalanan, sopir Elp yang kami tanya dari mana asal Duku-Duku itu menjawab,
"Eta teh seueur, Neng, di dinya. Kalau mau beli sama adik saya aja di Ciboleger".
Perjalanan dari Stasiun Rangkasbitung hingga Ciboleger memakan waktu kurang lebih 2 jam. Jalanan yang penuh lubang, tanjakan, tikungan memberikan predikat untuk perjalanan kami "cukup melelahkan". Terguncang-guncang. Terdorong ke kanan dan ke kiri. Terpapar angin dari pintu Elp tanpa AC.Â
Sempat ciut hati kami saat Elp melambat di belakang mobil Avanza yang berhenti di tanjakan, lalu Sang Sopir Avanza keluar dari pintu depan kanan. Mobil itu berhenti di sisi kiri badan jalan. Rupanya Si Avanza berwarna grey metalik itu tidak kuat menanjak. Elp yang kami tumpangi dan satu mobil di depan kami yang sedari tadi mengantri harus menyalip Si Avanza itu dari sisi kanan.Â
Jalanan memang menanjak curam. Barangkali inilah yang kami syukuri: Elp bermesin diesel berbahan bakar minyak solar lebih tangguh di tanjakan meskipun suara mesinnya -yang memang sudah tua- berisik sekali.Â
Bahkan saya musti berteriak-teriak saat berbicara dengan satu orang Baduy Luar yang diangkut Elp sewaan kami ini. Kami berenam menikmati perjalanan dengan happy. Teman-teman saya gembira karena puluhan durian menanti, dan saya gembira karena berharap sekian kilogram buah duku menanti.
Setiba di terminal Ciboleger kami disambut oleh tugu khas Ciboleger dengan patung-patung yang menggambarkan sosok warga Baduy Dalam, lelaki, wanita, anak-anak yang berpakaian serba putih dan hitam tanpa alas kaki.Â
Kami juga disambut dengan pemandangan penuhnya tempat parkir di terminal itu. Ditambah pemandangan rombongan ibu-ibu berjilbab merah, serta rombongan anak-anak sekolah. Tampaknya mereka akan melakukan trip ke Baduy. Entah ke Baduy Dalam atau Baduy Luar. Saat itu hari Sabtu. Banyak rombongan yang baru tiba. Biasanya mereka akan melakukan perjalanan hari itu juga dan kembali esok hari.
Sopir Elp, namanya Mang Iyen, lantas memanggil adiknya. Saya lupa namanya. Rupanya adiknya berjualan di terminal itu di sebelah penjual makanan dan warung bakso. Adik Mang Iyen menjajakan dagangannya di bawah tenda terpal biru yang tidak permanen. Tenda biru itu disangga dengan tiang bambu. Dagangannya dijajakan di atas meja bambu. Tampaknya wilayah Ciboleger ini tidak jauh-jauh dari "bitung" atau sejenis bambu. Namun saya tidak melihat buah duku di sajian yang dijajakan adik Mang Iyen. Yang tampak adalah durian! Bertumpuk-tumpuk.
Datang tergopoh-gopoh adik Mang Iyen ke Elp yang kami tumpangi. Lucunya, ia datang sambil menenteng sebuah durian ukuran besar. Dan bukan buah duku. Ia lalu sibuk membujuk kami untuk membeli durian dagangannya. Sedangkan kami sibuk menanyakan buah duku. Dimana duku yang mau kami beli; berapa harga duku per kilogramnya; dukunya manis atau tidak; dan seterusnya.
Akhirnya adik Mang Iyen menyerah. Tidak lagi menawarkan durian. Ia mengatakan bahwa harga duku per kilo Rp 5.000,- saja dan menanyakan berapa kilo duku yang kami mau beli. Kami jawab 5 kilo saja. Lalu dia menawarkan satu karung berisi 20 kilo dengan harga tertentu. Kami mengajukan request agar satu karung duku itu diantar ke tempat kami bermalam. Adik Mang Iyen setuju sekarung duku akan diantarkan ke tempat yang disepakati hari itu juga sekitar jam 2 siang. Deal ... ! Bungkus!