Di Baduy juga banyak pohon Duku, selain Durian, Rambutan dan Manggis.
Pekan lalu saya ke Ciboleger. Sebenarnya saat turun dari kereta api jurusan Rangkasbitung, mata saya sudah jelalatan melihat banyak sekali karung-karung transparan berisi buah bulat-bulat berwarna kuning langsat. Terbayang di kepala: itu buah duku. Namun seorang teman seperjalanan berujar,
"Itu duku atau kentang kecil sih?"
***
Saya adalah penggemar berat buah duku. Dua kilogram buah duku bisa saya habiskan sendiri. Â Dulu, saat saya kecil, dan Bapak pergi ke luar kota, jika Bapak bertanya,
"Mau oleh-oleh apa?"
Seringnya saya menjawabnya dengan satu kata: duku.
Dan ketika Bapak pulang ke rumah dengan tentengan buah duku, saya akan menyambutnya dengan mata berbinar. Tangan saya menjadi tangan yang paling sigap diantara tangan-tangan lain di jalan dr Wahidin 61B: tangan dua adik lelaki saya, Ibu, dan bulik saya. Saya menjadi penghasil sampah kulit duku terbesar di rumah itu.
***
Pada bapak-bapak yang berada di saung dengan berkarung-karung duku itu saya tanyakan apakah itu buah Duku atau buah Kentang (eh, kentang teh buah atau sayur ya?). Dijawab bahwa itu buah Duku. Hati saya girang sekali.
Setelah kami menyelesaikan brunch kami di warung yang 'nyempil' di dekat Pasar Pisang, kami bergegas memasuki Elp yang kami sewa pulang pergi. Warung 'nyempil' itu rupanya membuat saya kenyang dengan lauk rasa lapar, plus  terong balado, kerupuk dan kikil bumbu rujak. Ditambah ampela goreng hasil kolaborasi dengan salah satu teman seperjalanan saya, Riana, yang tidak suka ampela namun lebih menyukai ati.
Cuss...!
Kami meluncur ke Ciboleger.