Ah, betapa!
ingin sekali aku ke sana
sebuah kolam sepanjang 70 depa
lebarnya 30 langkah orang dewasa
tanaman air subur daunnya
teratai mekar berlomba-lomba
sedari malam bunga-bunga menawarkan putiknya yang ranum
sebelum jam sembilan pagi ia menguncup lagi dalam sipu-sipu merah jambu
Wahai, betapa!
sudah lama sekali sejak terakhir bersua
gadis-gadis senantiasa setia menciumkan telapak kaki telanjangnya pada pelukan Ibu Bumi
selalu berkain katun hitam
selalu berbaju katun putih
lamak hitam menemani sebagai teman pengikat beban, pengikat ranting-ranting hutan, saat harus berladang
lalu suara itu
suara-suara itu
orkestra di kedalaman jingga saat mentari kembali ke peraduannya
tonggeret khusyuk merajut nada sebagai pembuka
jangkrik selanjutnya
katak bersahutan
angin berdesau-desau
bisikan malam bagi manusia yang terjaga
mengalun bagai tarian, menyapa bagai belaian sayang Ibunda
betapa aku, betapa engkau
betapa sembilu, betapa kemilau
suar-suar tergelar rinci bersama rintik-rintik air langit
ranjau-ranjau rebah terlibas musnah tuntas
dentam berpadu denting
Oh, betapa!
ingin kusapa lagi seekor lebah yang terbang rendah & meninggalkan sengatnya di jariku
juga kunang-kunang yang tanpa bimbang mengitari kembang-kembang di gulita malam, menyanyikan lagu-lagu pujian tentang Sang Pangeran
rupanya aku harus merelakan waktu mengalir perlahan dibawa gerakan angin Tenggara negeri dewata
hingga nanti ketika purnama & aditya beranjangsana melalui sekawanan Mina, Mesa, Wribasa, Mintuna: tiba saatnya kau bawa aku besertamu
Kramat Pela, 15 Januari 2021
Lamak: selendang kainÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H