"Aku tak pernah punya cerita seseru milikmu, Arjuna",
ujar Amba.
Bibirnya tersenyum.Â
Matanya menatap lekat lelaki berparas indah yang berjarak satu generasi darinya.Â
Ia memilin selendang sutera yang berpangkal di pinggangnya.Â
Kepalanya kemudian tertunduk menekuri awan-awan berarakan yang melingkungi mereka berdua.Â
Angin di kahyangan berhembus sepoi.
"Aku hanya jatuh cinta pada seorang lelaki
yang telah bersumpahÂ
untuk tidak akan menikah seumur hidupnyaÂ
demi tahtaÂ
bagi keturunan ayah dan ibu tirinya."
Keheningan hadir beberapa saat sebelum Arjuna berkata,
"Resi Bhisma"
ucapan Arjuna menggantung di udaraÂ
ia menyebut nama lelaki yang dicintai Dewi Amba.Â
Lelaki yang justru dengan mata panahnyaÂ
menghantarkan wanita yang mencintainya menemu ajal.
Hening.
Perang Bharatayuda sudah di depan mata.Â
Saat dimana karma kematian AmbaÂ
terbayarkan dengan kematian Bhisma oleh busur dan anak panah.
Arjuna memejamkan mata.
Ada rasa perih membayangkan itu semua.Â
Cinta dan kematian.Â
Dan dendam.Â
Dan pembalasan.
....
Sang Pemanah Ber-gandewa Pinenthang.Â
Pada suratan tangannya tertulis tugas
menjemput kematian Resi Bhisma.
Parung Mulya, 22 Desember 2020
Gandewa pinenthang: busur panah yang terrentang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI